1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KesehatanAsia

Alasan Warga India Tak Percaya Konsultasi Kesehatan Mental

Tanika Godbole
1 Juni 2023

Industri kesehatan mental di India berkembang seiring meningkatnya kesadaran. Namun, yang kasusnya tidak sesuai dengan norma sosial mengatakan, bantuan konseling justru membuat mereka merasa tidak tervalidasi.

https://p.dw.com/p/4S2sx
Foto seorang seorang anggota Sanjali tengah ikut serta dalam sesi yoga di Pusat Rehabilitasi Mental Sanjali, New Delhi. Terlihat tangannya menutupi bagian mukanya
Seorang anggota Sanjali tengah ikut serta dalam sesi yoga di Pusat Rehabilitasi Mental Sanjali, New DelhiFoto: Manpreet Romana/AFP

Seorang mahasiswa yang menetap di Mumbai membutuhkan terapi setelah melela sebagai lesbian kepada keluarganya.

"Itu saat yang sulit untuk saya. Ayah saya tidak mengakui saya, dan saya merasa bersalah setiap saat. Saya merasa telah mengecewakan keluarga saya," kata Alina (bukan nama sebenarnya) kepada DW.

Perempuan berusia 25 tahun ini menyebutkan, pencarian pertolongan justru membuatnya menjadi merasa tidak valid, tidak yakin dan rendah diri.

"Terapis saya saat itu mengatakan, ayah hanya ingin yang terbaik untuk saya, dan saya harus meminta maaf kepadanya. Itu membuat saya merasa seolah-olah harus malu dengan orientasi seks saya." Setelah beberapa sesi konsultasi, Alina berhenti mengikuti terapi.

"Sekarang saya merasa beruntung karena menemukan sebuah kelompok queer yang mendukung dan seorang terapis yang lebih baik," tambah Alina. "Banyak konselor dan terapis yang mempromosikan diri, mereka ramah terhadap queer, padahal tidak. Ini cukup berbahaya bagi kesehatan mental banyak orang, khususnya mereka yang berasal dari keluarga tradisional atau kolot."

Kebun Petak Perkotaan Vital bagi Kesehatan Fisik dan Mental

Perdebatan nikah sesama jenis di India

Saat pengadilan tinggi India memperdebatkan pernikahan sesama jenis, Asosiasi Psikiater India telah memberikan dukungannya terhadap perjuangan persamaan hak. Pada tahun 2018, lembaga payung ini mengeluarkan pernyataan bahwa homoseksual merupakan salah satu bagian dari seksualitas dan bukan penyakit, sembari menambahkan bahwa anggota kelompok LGBTQIA+ harus diperlakukan sama.

Hanya saja, sejumlah praktisi masih berpandangan tradisional saat membahas masalah seksualitas.

"Disiplin ilmu psikologi secara sejarah didasarkan pada norma-norma sosial, dan pengobatan digunakan sebagai cara untuk memperbaiki atau menghukum," kata Raj Mariwala, direktur Mariwala Health Initiative. "Wanita dulu didiagnosis menderita histeria. Sampai sekarang, sisa-sisa hal itu masih ada. Rata-rata mereka adalah cis-heteroseksual dan berbadan sehat. Disiplin ilmu ini belum melihat lebih jauh dari sekadar membuat para praktisi kompeten secara struktural, dan ada kesenjangan besar dalam perawatan yang diberikan," katanya kepada DW.

Meningkatnya kesadaran kesehatan mental

Berdasarkan perkiraan Badan Kesehatan Dunia (WHO), 56 juta orang India menderita depresi dan 38 juta menderita gangguan kecemasan. Kesadaran akan kesehatan mental tengah meningkat, khususnya di kawasan urban India. Penelitian dari UnivDatos Market Insights menunjukkan, industri kesehatan mental diperkirakan bakal tumbuh pada tingkat tahunan sebesar 15% pada periode tahun 2022-2028.

Sriram (30), menceritakan alasannya tidak memiliki anak kepada psikiater.

"Setelah beberapa sesi, ketika topik itu muncul kembali, dia menuding saya tidak ingin punya anak karena saya egois. Saya tidak mengerti bagaimana hal itu mempengaruhi saya saat itu. Saya menyadari telah mengalami pengalaman buruk setelah berganti terapis," kata Sriram kepada DW.

"Psikiater sebelumnya, juga menganggap kecanduan pornografi saya sebagai sesuatu hal yang normal. Saya tidak akan merekomendasikan terapis ini kepada orang lain. Dia juga sering menceritakan pengalaman pasien lain kepada saya, tentu saja dia akan membagikan cerita saya kepada orang lain," ujarnya.

"Hidup sendiri dan, atau, tanpa anak, merupakan pilihan layaknya pilihan lain yang dijalankan orang lain, yang harusnya bisa dihormati oleh terapis," kata Harini Prasad, seorang konsulen psikologis di Rumah sakit Chinmaya Mission kepada DW. "Namun, jika konselornya belum bisa mengidentifikasi bias dan mewaspadainya, penilaian pribadi dapat tercampur ke masalah pekerjaan."

Nasihat 'berbahaya'

Ritika, seorang jurnalis profesional, memutuskan untuk mengikuti tes Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) sebagai orang dewasa. Setelah menjalani serangkaian tes yang mahal dan lama yang diberikan kepadanya oleh sebuah klinik kesehatan mental, dia mendapatkan hasil yang tidak menyebutkan adanya gangguan tersebut. Dia diberi tahu mengidap kecemasan umum dan depresi ringan, di mana saat itu Ritika juga tengah menjalani terapi dan pengobatan.

"Saya menderita dengan neurodiversitas sepanjang hidup saya, dan akhirnya saya mencari evaluasi saat semua aspek kehidupan saya terpengaruh," kata Ritika. "Namun psikolog yang saya datangi sama sekali tidak memiliki pengetahuan praktikal tentang kondisi saya. Terlebih lagi, tes tersebut mencoba menganalisis saya dengan cara yang menyinggung dan menyakitkan.

Disebutkan juga bahwa saya mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dan akibatnya saya mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan yang langgeng. Saya bekerja di bidang komunikasi, punya sistem pendukung yang kuat dan telah bersama pasangan saya selama satu dekade. Jadi saya tidak tahu dari mana penilaian itu datang. Mereka bisa saja mendapatkan lebih banyak hal hanya dengan berbicara dengan saya. Hal itu tidak hanya tidak ada gunanya, tetapi juga berbahaya."

Saat Ritika menanyakan fakta bahwa ADHD tidak disebutkan, mereka memberi tahu Ritika kalau dia "tidak memenuhi syarat" untuk itu. "Seluruh prosesnya membuat saya marah dan tidak valid," katanya.

Akhirnya, dia mencari konsultasi dari seorang profesional yang direkomendasikan kepadanya dan punya pengalaman yang lebih bagus.

"Sekarang, saya hanya meminta pertolongan dari profesional yang direkomendasikan oleh orang yang saya percaya," tambah dia.

Keluhan buruknya layanan kesehatan dilindungi undang-undang

Undang-Undang Perawatan Kesehatan Mental India tahun 2017 memberikan hak kepada individu untuk mengajukan keluhan atas kekurangan dalam penyediaan layanan.

Mariwala Health Initiative (MHI) menyelenggarakan kursus Praktik Konseling Affrimatif Queer, yang mana kegiatan itu telah melatih sekitar 500 profesional kesehatan mental di India. Mereka mencamtukan nama-nama praktisi yang telah menyelesaikan kursus tersebut di laman situsnya.

"Menjadi queer, kasta, ramah terhadap penyandang disabilitas tidak dibatasi pada satu pelatihan saja. Para profesional di bidang ini harus mempraktikan persekutuan dan memperbarui diri mereka secara teratur dan konsisten," ujar konsultan psikologi Harini Prasad.

Saat berbicara soal "terapi yang buruk," para profesional mengatakan, orang-orang tidak boleh membiarkan hal ini menjadikan mereka enggan untuk mencari bantuan.

"Para klien perlu mempercayai apa yang mereka rasakan di kalangan terapis, konselor, psikiater. Orang yang sama mungkin tidak cocok untuk semua orang yang membutuhkan dukungan. Perlu ditanyakan kredensial, pendekatan apa yang digunakan, dan apa kebijakan persetujuan mereka. Yang terpenting, Anda, sebagai seorang klien, harus merasa dihormati, pilihan Anda dihargai, dan komunikasi berjalan dengan baik," pungkas Prasad.

(mh/as)