1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Alergi terhadap bahan pangan

20 September 2011

Mengkonsumsi bahan pangan bagi 5-7 persen penduduk Jerman tak hanya berarti menikmati makanan. Jika sistem kekebalan tubuh bereaksi alergis terhadap unsur tertentu dalam makanan, ini disebut alergi terhadap bahan pangan.

https://p.dw.com/p/12cgB
Tidak semua warga Jerman tahan minum susuFoto: AP

Bila mengalami alergi terhadap bahan makanan, ini berarti sistem kekebalan tubuh mengenali unsur-unsur makanan tertentu sebagai sesuatu yang asing dan berbahaya, dan pada tubuh berlangsung proses penolakan. Simptomanya antara lain mata berair, keluar ingus dari hidung ibaratnya orang pilek, muncul bercak-bercak bewarna merah atau gatal-gatal pada kulit, atau juga asma. Untuk terapi bagi penderita alergi, yang menentukan adalah ditemukannya penyebab penyakit alergi ini. Dan melacak ketidaktahanan terhadap bahan makanan itu bukan hal yang mudah.

Berbeda dengan alergi, ketidaktahanan terhadap suatu bahan pangan tidak menimbulkan reaksi kekebalan. Artinya tidak ada antibodi dari tipe lgE yang terlibat dalam reaksi terhadap bahan pangan. Meskipun demikian dilepaskan hormon histamin yang bertanggung jawab untuk sebagian besar simptoma alergi. Pada sejumlah bahan pangan seperti buah strawberi atau tomat, langsung dipicu bahan pangan yang bersangkutan. Sejumlah bahan pangan juga mengandung histamin misalnya keju, anggur, ikan yang diawetkan. Juga ada orang yang tidak tahan terhadap natriumglutamat yakni bahan penyedap makanan serta  kecap.

Alergi Terhadap Susu Picu Produk Tanpa Laktosa

Bentuk lain ketidak-tahanan terhadap bahan pangan terjadi akibat kurangnya enzim pada tubuh. Misalnya tidak tahan terhadap susu disebabkan kurangnya enzim lactase. Dalam contoh kasus susu dapat diperjelas perbedaan antara kasus alergi dan ketidaktahanan terhadap bahan pangan. Dalam kasus alergi, pasien yang sama sekali tidak tahan terhadap susu akan langsung menunjukkan simptoma khas alergi. Sementara pasien yang tidak tahan terhadap susu karena kurangnya enzim tertentu, masih dapat mengkonsumsi susu, walaupun dalam jumlah kecil. Perusahaan di sektor pangan bahkan mengembangkan produk alternatif bagi susu, misalnya es krim yang dibuat dari protein tanaman lupin, Lupinesse. Es krim vegetarian murni, bebas laktosa maupun kolesterin, dan dikurangi kadar gula dan lemaknya. Katrin Petersen direktur Prolupin yang memproduksi Lupinesse mengatakan "Kami mendapat banyak tanggapan, dimana orang-orang menyampaikan kepada kami bahwa produk semacam itu sudah lama dibutuhkan, karena 15 sampai 20 persen warga Jerman tidak tahan laktosa. Produk-produk semacam itu semakin penting.”

Alergi Terhadap Telur

Pada dasarnya semua bahan makanan dapat menyebabkan reaksi alergi. Yang paling sering adalah alergi terhadap hewan bercangkang, susu, ikan, kedelai, gandum, telur ayam, kacang, juga jenis sayuran dan buah tertentu. Misalnya alergi terhadap telur. Bukan telur secara keseluruhan yang menjadi sumber alergi, melainkan protein atau zat putih telur tertentu. Ini bukan berarti bahwa pasien tahan makan kuning telurnya. Protein di sini adalah bagian umum untuk suatu kelompok nutrien. Sejumlah alergen pada telur misalnya ovalbumin sebagian akan hancur dengan pemanasan. Karena komponen zat putih telur lainnya  tetap stabil meski dipanaskan, segala bentuk atau unsur pada telur harus dihindari. Lembaga pelindung konsumen Jerman yang mewajibkan produsen mencantumkan secara rinci kandungan produk makanan, cukup membantu konsumen yang memiliki alergi. Orang tinggal memperhatikan rincian unsur kandungan bahan makanan pada kemasan produk, seperti istilah telur seutuhnya, putih telur, atau kuning telur. Bagi pasien yang benar-benar dilarang makan telur dapat memenuhi kebutuhan protein tanpa mengkonsumsi telur, dengan memperhatikan pola makan yang seimbang.

Alergi terhadap bahan pangan tertentu misalnya alergi terhadap susu atau telur ada kemungkinan mengatasinya dengan terapi kebiasaan. Dengan tujuan perlahan-lahan dengan dosis yang ditambah, secara bertahap pasien kembali dapat tahan mengkonsumsi susu atau telur. Meski demikian upaya terapi ini masih kontroversial.

Dyan Kostermans/dpa/DW

Editor: Agus Setiawan