1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Autokrasi Menguat di Seluruh Dunia

19 Maret 2024

Autokrasi merajalela di negara miskin dan berkembang, demikian studi tahunan Yayasan Bertelsmann, Jerman. Tren pemerintahan otoriter diperkuat situasi geopolitik paling anyar dan pandemi COVID-19.

https://p.dw.com/p/4dtcq
Pemilih di India
Seorang pemilih muslim di West Bengal, IndiaFoto: Dipa Chakraborty/eyepix via ZUMA/picture alliance

Angka yang dicatat Yayasan Bertelsmann dalam Indeks Transformasi tahunannya sangat memprihatinkan: di sebanyak 137 negara miskin dan berkembang, kualitas Demokrasi menurun dalam 20 tahun terakhir. Saat ini, sebanyak 74 negara diperintah secara otoriter, dibandingkan dengan 63 negara yang sudah mengadopsi demokrasi.

Sabine Donner, salah seorang peneliti Bertelsmann mengatakan, "pandemi COVID-19 makin memudahkan diktator untuk memberangus hak sipil, dan semakin mengkonsetrasikan kekuasaan di tangan pemerintah pusat," kata dia kepada DW. "Tapi pada dasarnya pandemi tidak menciptakan masalah baru yang sebelumnya tidak eksis."

Riset yang digelar Bertelsmann diklaim sebagai yang terbesar dan paling luas di bidangnya. Hasilnya adalah laporan setebal 5.000 halaman yang ditulis oleh 300 tenaga ahli dan praktisi akademisi di 120 negara di dunia.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Menurut studi, kemunduran demokrasi dicatat di 25 negara dalam dua tahun terakhir, yang dipengaruhi kondisi terbaru yakni pandemi, krisis ekonomi dan konflik antarnegara. Salah satu indikasi utama adalah kian dibatasinya kebebasan pers dan berekspresi di 39 negara di dunia.

Geliat kaum demokrat

Tren autokrasi di belahan Bumi selatan juga memicu tumbuhnya kewaspadaan di negara-negara demokrasi maju di utara. Sabine Donner melihat lahirnya kebersamaan di kalangan negara-negara demokrasi terhadap ancaman pemerintahan otoriter tersebut. "Dalam dua sampai empat tahun terakhir, warga dan pemerintah di negara-negara demokratis, seperti juga di Jerman, semakin waspada bahwa ada tantangan meningkatnya autokrasi."

Menurutnya, kaum demokrat semakin "percaya diri, ketimbang sepuluh tahun lalu. Tapi saya kira, kita sendiri yang membiarkan tren ini muncul," imbuhnya.

"Demokrasi harus dilindungi oleh kita sendiri," ujar Kanselir Jerman Olaf Scholz yang hadir dalam acara presentasi hasil studi Bertelsmann itu. Dia merasa senang, warga turun ke jalanan demi menguatkan demokrasi. "Gerakan ini tidak datang dari atas atau dari Partai Politik," kata dia merujuk pada aksi damai pro-demokrasi memprotes populisme kanan yang dihadiri jutaan warga di seluruh Jerman pada awal tahun.

"Adalah benar, bahwa kita ikut memikirkan ketangguhan demokrasi. Karena ujung-ujungnya perjuangan ini bukan sebuah pertunjukan teater yang ditonton di internet, melainkan perjuangan kita. Kita sendiri yang harus melindungi demokrasi."

Propaganda antidemokrasi

Kediktatoran acap berargumentasi dengan melontarkan propaganda, betapa demokrasi terlampau lamban, kaku dan mahal, bahwa sebuah bangsa harus diperintah secara otoriter sebelum mampu mengadopsi demokrasi, secara politik  dan ekonomi.

Namun klaim tersebut dibantah oleh riset Bertelsmann. Berkaca pada kinerja pemerintah selama pandemi, negara-negara autokrasi seperti Kamboja, Venezuela atau Simbabwe mencatatkan skor paling buruk. Faktanya, sebanyak 45 negara yang memiliki tingkat efektifitas pandemi terendah di dunia adalah bukan negara demokrasi.

Bahwa autokrasi cenderung berkinerja buruk dibandingkan demokrasi, juga bisa disimak pada kegagalan Cina mengendalikan pandemi dengan kebijakan nol-toleransi. "Pandemi membuktikan bahwa lockdown yang ketat di Cina tidak ampuh, dan malah memicu aksi protes meski tindakan represif aparat keamanan," kata Sabine Donner. "Rejim otoriter pun bisa terdesak jika ketidakpuasan masyarakat meluap."

Pakar Hukum Jawab Pertanyaan Warganet soal Dinasti Politik

Faktor paling berpengaruh melawan tren autokrasi adalah gerakan akar rumput demi demokrasi dan pemerintahan yang bebas korupsi. Tekanan jalanan yang konsisten dipercaya bisa memperkuat ketahanan demokrasi. Contohnya adalah pemilu teranyar di Kenya dan Zambia, atau juga Polandia dan Republik Moldova.

Contoh bagus dari Kosta Rika, Chile dan Uruguay

Para peneliti juga menyebutkan, kepedulian sipil untuk pemilu bebas, kebebasan pers serta pemisahan kekuasaan, sebagai kunci untuk memerangi tren autokrasi di negara-negara berkembang. Namun pengaruh agama dan kebudayaan memainkan peranan sangat kecil. Misalnya apakah negara-negara di Kawasan Teluk bisa mendesak tren autokrasi?

"Saya tidak memahami, kenapa hal ini tidak akan berfungsi," kata Sabine Donner. "Sebut saja Taiwan atau Korea Selatan, yang dulu lama diperintah oleh diktatur dan mengalami modernisasi lewat ekonomi. Sekarang, kedua negara merupakan demokrasi yang stabil dan sukses."

Kesimpulan utama studi Bertelsmann, betapa demokrasi dan konsep negara hukum masih menjadi jalan terbaik menuju kemakmuran.

Hal ini juga dibuktikan Kosta Rika, Chile dan Uruguay. Negara yang "didasarkan pada supremasi hukum dan diselaraskan secara strategis, pemerintahannya mencatatkan pencapaian maksimal di bidang pendidikan dan kesehatan, serta perbaikan standar hidup dan penguatan demokrasi."

Dan di negara-negara yang sudah berdemokrasi, demikian menurut studi tersebut, pemerintah harus membangun konsensus luas di masyarakat demi memperkuat ketahanan, meski hal ini tidak mudah di tengah iklim yang semakin terpolarisasi.

rzn/as

Jens Thurau
Jens Thurau Jens Thurau adalah koresponden politik senior yang meliput kebijakan lingkungan dan iklim Jerman.