1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KesehatanGlobal

Bagaimana Film Gaungkan Prasangka terhadap Pengidap Autisme

Vicky Hristova
5 April 2024

Karakter autistik belakangan mulai ramaikan karya sinema layar lebar. Namun, prasangka terhadap penyandang autisme tetap bertahan dan cenderung menyederhanakan kompleksitas gangguan mental secara umum.

https://p.dw.com/p/4eQsM
Ilustrasi autisme
Ilustrasi autismeFoto: Berit Kessler/Zoonar/picture alliance

Pandangan kita tentang autisme sebagian besar dibentuk oleh media dan film, demikian menurut Cian O'Clery, sutradara Australia yang memproduksi sebuah serial realis tentang bagaimana pengidap autisme berkencan.

"Orang mungkin pernah melihat film Rain Man dan berpikir semua pengidap autisme bisa menghitung kartu dengan sangat jeli, atau orang mungkin pernah melihat film seri Big Bang Theory dan berpikir bahwa semua orang autis seperti Sheldon Cooper,” kata Cian kepada DW, merujuk pada tokoh jenius yang kesulitan berinteraksi sosial itu.

Orang autis tidak semuanya sama

Gejala autisme muncul dalam bentuk yang beragam. Bagi sebagian pengidap autisme, komunikasi sosial bisa menjadi tantangan besar, sementara sebagian lain mengalami kesulitan belajar atau hipersensitif terhadap rangsangan sensorik.

"Masih ada kesalahpahaman bahwa autisme bisa dengan gampang dicirikan. Seorang konsultan di rumah sakit pernah mengatakan bahwa saya tidak terlihat autistik. Apa yang mereka harapkan?" kata Emily, seorang peneliti yang berbasis di Inggris, ilustrator, dan pembawa acara di balik podcast 21andsensory. Emily didiagnosis menderita autisme pada tahun 2019.

Definisi autisme terus berubah sejak pertama kali dirumuskan 80 tahun yang lalu. Bahkan kriteria medis yang digunakan secara internasional untuk diagnosa autisme saat ini masih mengabaikan sejumlah kelompok dalam spektrum tersebut. Sempitnya definisi dinilai bisa menimbulkan ambiguitas dalam mendiagnosa autisme.

Penyandang Autis Jago Renang

Mitos tentang pengidap autis berkemampuan super

Dalam film Rain Man, karakter autistik yang diperankan Dustin Hoffman dapat menghafal angka-angka di buku telepon dalam hitungan detik, menghitung persamaan rumit, dan dengan mudah memenangkan permainan kartu karena kemampuan matematika di atas rata-rata.

Seperti pada Rain Man, tokoh autistik di layar lebar sering kali digambarkan sebagai "manusia cerdas" dengan kemampuan intelektual yang ekstrem dan bakat khusus.

"Kesalahpahaman yang besar adalah bahwa pengidap autisme lebih unggul secara intelektual. Saya, misalnya, hanya bisa berharap akan pandai berhitung, padahal saya penderita disleksia, diskalkulia, dan saya buruk dalam matematika," kata Emily.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Sejumlah riset ilmiah menyimpulkan, hanya sekitar 10 persen pengidap autisme menunjukkan kemampuan kognitif di atas rata-rata. Jumlahnya berkurang drastis menjadi kurang dari 1 persen menurut penelitian lain.

Karakter autistik oleh pengidap autisme

"Cara terbaik untuk menggambarkan pengalaman gangguan autisme secara akurat adalah dengan mempekerjakan aktor penyandang autisme," kata Emily.

"Banyaknya panggilan casting yang mengabaikan aktor atau aktris pengidap autisme, sungguh membuat frustrasi. Sebenarnya, orang autistik lebih memenuhi syarat untuk memainkan peran tersebut, karena kita menutup diri seumur hidup. Intinya, bersandiwara sama dengan memakai topeng, dan itu adalah sesuatu yang kami lakukan setiap hari," katanya.

Menggali Kemampuan Pengidap Autisme di Lapangan Kerja

Menyamar adalah strategi yang digunakan pengidap autisme untuk bisa "menyesuaikan diri” dengan orang non-autis. Jika dilakukan untuk waktu lama, sandiwara semacam itu dapat berdampak buruk pada kesehatan mental, termasuk gejala peningkatan kecemasan dan depresi.

Sutradara Australia, Cian O'Clery, percaya bahwa pengidap autisme harus bisa menceritakan kisah mereka sendiri di layar lebar. "Dalam kisah fiksi, penulis akan mengembangkan karakter autis. Tapi dengan seri tv realistis, kami cuma memperkenalkan orang dan kisah mereka."

Seri berjudul Love on the Spectrum yang mendokumentasikan kehidupan asmara pengidap autisme di Australia itu, juga banyak mendapat kritik. Menurut O'Clery, karyanya itu dikritik menempatkan pengidap autisme sebagai anak-anak dan memaksakan prasangka tertentu dalam berkencan dengan orang autis.

"Yang paling penting adalah para pemain senang dengan ceritanya. Bagi saya, para partisipan adalah kritikus paling penting terhadap serial ini,” kata Cian.

Bagi Emily, keterwakilan yang lebih baik bagi pengidap autisme di layar lebar berarti akan ada lebih banyak karya sinema yang dibuat dari sudut pandang autistik.

Representasi yang akurat tidak hanya bermanfaat bagi audiens autistik untuk merasa dilibatkan, tetapi juga membantu orang memahami tantangan yang sering dihadapi oleh penyandang autisme.

"Akan sangat baik bagi orang-orang untuk dapat menempatkan diri mereka pada posisi orang-orang autis, dan menyadari betapa menakutkannya kehidupan publik seperti di ruang kelas misalnya," pungkas Emily.

(rzn/as)