1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiBangladesh

Bangladesh dan Skema Pinjaman Hijau Hadapi Perubahan Iklim

20 Juli 2023

Jadi salah satu negara paling rentan dampak perubahan iklim, perbankan Bangladesh mulai meluncurkan kebijakan finansial hijau dan berkelanjutan pada 2012, dengan suku bunga lebih rendah. Peminatnya cukup banyak.

https://p.dw.com/p/4U7U6
Ilustrasi industri garmen di Bangladesh
Ilustrasi industri garmen di BangladeshFoto: DW

Bertahun lamanya Banolata Refractory, produsen batu bata di Bangladesh utara, ingin mulai membuat batu bata yang ramah lingkungan dan mengurangi emisi karbon. Namun mereka kekurangan dana untuk membangun tempat pembakaran yang lebih ramah lingkungan.

Keadaan itu berubah pada awal tahun 2020 ketika perusahaan tersebut mengetahui bahwa bank sentral negara itu, Bank Bangladesh, menawarkan pinjaman berbunga rendah untuk proyek berkelanjutan dan hijau.

Banolata menerima pinjaman sebesar $462.000 atau sekitar 7 miliar rupiah dengan tingkat bunga 6%, bukan 10% seperti biasanya.

Dana tersebut dipakai untuk membangun tempat pembakaran Hybrid Hoffman Kiln (HHK). Oven ini menggunakan lebih sedikit batu bara dibandingkan oven tradisional, dan dengan demikian menghasilkan lebih sedikit polusi dan emisi, menurut perusahaan tersebut.

"Kini, (perusahaan ini) adalah produsen batu bata terkemuka yang menyediakan sebagian besar batu bata ... di bagian utara (Bangladesh)," kata Shahidul Islam, manajer operasi pabrik di Banolata di distrik Natore. "HHK hanya menggunakan batu bara setengah daripada tungku biasa ... kami bisa mengurangi hingga 70% karbon," tambah Islam.

Pinjaman dengan konsep green finance memang tengah berkembang pesat di Bangladesh, menurut data resmi. Dianggap sebagai salah satu negara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim, Bangladesh menjajaki berbagai inovasi produk keuangan, mulai dari pinjaman hijau hingga asuransi terkait iklim dan pembiayaan mikro untuk mengurangi emisi.

Mantan Gubernur Bank Sentral Bangladesh, Atiur Rahman, telah membantu mengembangkan kebijakan keuangan berkelanjutan dan hijau di negara ini lebih dari satu dekade lalu. Ia mengatakan efek lanjutan dari "merintis perbankan hijau di Bangladesh sangat fenomenal" dan mulai ditiru di dalam dan luar negeri.

Bank sentral Cina dan Indonesia juga mengikuti langkah Bangladesh dalam mengadakan produk pembiayaan berkelanjutan, sementara Thailand dan Uganda baru-baru ini meminta nasihat negara itu tentang masalah ini, kata Atiur Rahman.

Namun, beberapa analis mengatakan kemajuan di Bangladesh terhambat oleh kapasitas terbatas bank sentral dan bank swasta. Kritikus menyerukan pengembangan instrumen keuangan hijau yang lebih besar, seperti obligasi hijau, agar bisa menjadi pasar arus utama.

Perubahan kebijakan tingkatkan serapan pinjaman

Bangladesh Bank meluncurkan kebijakan finansial hijau dan berkelanjutan pada tahun 2012. Suku bunga pinjaman yang diberikan lebih rendah, yakni antara 2-4% dibandingkan pinjaman standar, dan jangka waktu pembayaran yang lebih lama.

Namun, kebijakan itu awalnya tidak populer karena kurangnya informasi dan kesadaran. Bank sentral lalu mengubah kebijakannya pada tahun 2020 untuk meningkatkan penyerapan, menurut Chowdhury Liakat Ali, Direktur Departemen Finansial Berkelanjutan di Bank Bangladesh.

Bank sentral pun mewajibkan lembaga keuangan untuk mencairkan setidaknya 15% dari anggaran pinjaman mereka untuk proyek berkelanjutan, dan 5% atau lebih untuk inisiatif hijau.

Produk finansial berkelanjutan, menurut Bank Bangladesh, mencakup investasi yang diarahkan pada target lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) PBB, sedangkan finansial hijau berfokus hanya kepada lingkungan. 

Hasilnya, tingkat serapan pinjaman pun meningkat. Sekarang ada lebih dari 117 produk pembiayaan yang ditawarkan di Bangladesh. Jumlah ini naik dari hanya 68 produk pada 2022. Produk yang ditawarkan termasuk untuk membiayai investasi sistem rumah surya dan taman surya, pembangkit listrik tenaga biogas dan angin, pengelolaan dan daur ulang limbah, dan pertanian organik.

Selain bank, pialang asuransi dan lembaga keuangan mikro juga berperan dalam menawarkan pinjaman yang jumlahnya lebih kecil dan asuransi untuk pertanian.

Sebuah yayasan bernama SAJIDA pada tahun lalu juga menerbitkan obligasi hijau pertama di negara itu. Yayasan itu mengumpulkan dana 1,1 miliar taka (sekitar Rp154,4 miliar) dari sektor swasta, dan menggunakannya untuk memberikan pinjaman mikro kepada petani dan keluarga miskin di 36 distrik.

Banyak dimanfaatkan produsen garmen

Syed Mahbubur Rahman, direktur pelaksana bank swasata di Bangladesh, Mutual Trust Bank, mengatakan peminjam hijau dan berkelanjutan punya kesadaran finansial yang tinggi dan cenderung membayar cicilan tepat waktu.

"Sebagai bankir, kami merasa bangga ketika pinjaman kami digunakan untuk proyek yang ramah lingkungan dan berkelanjutan," kata Rahman.

Produsen garmen di Bangladesh juga banyak memanfaatkan skema pinjaman ramah lingkungan dan berkelanjutan ini. 

Produksi Tekstil Biaya Rendah

Lebih dari 185 pabrik garmen telah menerima sertifikasi LEED atau standar internasional untuk bangunan hijau. Ini adalah jumlah tertinggi di antara negara pengekspor garmen dunia, menurut BGMEA, organisasi perdagangan garmen Bangladesh.

Salah satu perusahaan garmen yakni Envoy Textile, pada tahun 2021 mengambil pinjaman sebesar 1,84 juta dolar AS (sekitar Rp27,6 miliar) dari lembaga keuangan bukan bank dengan tingkat bunga 5,5% untuk menggantikan mesin garmen tradisional dengan teknologi ramah lingkungan.

Mesin potong dan jahit otomatis, AC inverter, dan bola lampu LED telah membantu Envoy Textile mengurangi emisi karbonnya, kata direktur pelaksana Abdus Salam Murshedy.

"Pencapaian besar lainnya adalah pembeli mengambil lebih banyak produk karena kami menggunakan peralatan ramah lingkungan," katanya. "Mereka menandatangani kontrak jangka panjang dengan kami."

ae/hp (Reuters)