1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikTurki

Benarkah Presiden Turki Erdogan Ingin Pensiun dari Politik?

Elmas Topcu
14 Maret 2024

Jelang pemilu komunal, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengaku ingin mundur dari arena politik praktis dan tidak lagi mencalonkan diri pada 2028. Seberapa serius janjinya itu?

https://p.dw.com/p/4dVgv
Recep Tayyip Erdogan
Presiden Turki Recep Tayyip ErdoganFoto: Mustafa Kamaci/Anadolu/picture alliance

Isyarat perpisahan diucapkan Presiden Recep Tayyip Erdogan baru-baru ini. "Saya bekerja dengan seluruh kekuatan, karena buat saya pemilu ini adalah sebuah final. Menurut konstitusi, pemilu ini adalah yang terakhir buat saya," kata dia, Jumat (8/3) lalu, soal pemilihan komunal di Turki.

Pernyataannya itu sontak disambut oleh media dengan menurunkan judul bombastis, "Erdogan Pertimbangkan Turun Tahta," atau "Erdogan Umumkan Pengunduran diri." Namun di media sosial, ucapan sang presiden malah memicu cibiran. "Apakah dia ingin mengundurkan diri lagi?," tanya seorang netizen, merujuk pada ucapan serupa oleh Erdogan di masa lalu.

Hakki Tas, pakar politik di German Institute for Global and Area Studies, GIGA, masih mengingat serangkaian janji pensiun dari sang presiden.

"Tahun 2009, dia bilang pemilu itu akan menjadi yang terakhir. Tahun 2012 dia berjanji kepada dewan pimpinan partai akan mencalonkan diri untuk terakhir kali. Pada 2023, dia mengaku meminta dukungan pemilih untuk terakhir kalinya dan mengaku akan mewariskan tongkat kepemimpinan ke gernasi muda," ujar pakar politik GIGA itu.

Meski mengaku ingin mundur, Erdogan selalu berusaha memperkuat posisinya setiap kali memenangkan pemilu. Kini dia menjadi manusia paling berkuasa di Turki, sebagai kepala negara dan pemerintahan, serta ketua umum Partai Keadilan dan Pembangunan, AKP.

Sebabnya, Tas meyakini pernyataan Erdogan adalah langkah taktis untuk menjerat emosi pemilih. Dengan menyiratkan pemilu terakhir, dia ingin memobilisasi simpatisan untuk pergi memilih.

Turkey marks 100th anniversary

Sejak 22 tahun berkuasa

Selama 10 tahun terakhir, Turki praktis selalu berada dalam modus kampanye karena ragam pemilihan umum di tingkat nasional atau daerah yang digelar dalam jarak berdekatan.

Ketenangan baru akan kembali setelah pemilu komunal tanggal 31 Maret mendatang. Jika tidak ada pemilu yang dimajukan, Erdogan bisa berkuasa dengan tenang selama empat tahun ke depan, sejak terpilih pada Mei 2023 lalu. Di Turki, masa jabatan presiden berlangsung selama lima tahun.

Kemenangan dalam pemilu komunal akan memperbesar kekuasaan Erdogan. Pengamat meyakini sang presiden ingin mengubah konstitusi dan ikut menentukan pewaris kekuasaannya. Untuk itu, dia membutuhkan dukungan mayoritas di kota-kota besar, Istanbul, Ankara, Izmir dan Antalya, yang mewakili separuh nilai ekonomi Turki.

Istanbul yang berpenduduk 17 juta orang akan menjadi medan kampanye sengit. Di sana, jajak pendapat memprediksi persaingan ketat antara partai opposisi terbesar, CHP, dan partai pemerintah, AKP. Walikota Istanbul, Ekrem Imamoglu, dari CHP berharap bisa melanjutkan masa jabatan kedua. Dia termasuk tokoh oposisi paling disegani di Turki.

Diketahui kedua calon AKP di Istanbul dan ibu kota Ankara saat ini masih jauh tertinggal dibandingkan rival CHP. Sebab itu pula, Erdogan giat turun berkampanye untuk memobilisasi pemilih, seakan ikut mencalonkan diri.

Siapa akan gantikan Erdogan?

Erdogan, yang pernah menjadi walikota Istanbul, menahami nilai penting kota metropolitan di tepi Selat Bosporus itu bagi kemenangan pemilu. "Siapapun yang memenangkan Istanbul, akan memenangkan seisi negeri," demikian bunyi pepatah politik di Turki.

Setelah terlempar dari pemerintahan kota pada pemilu 2019, AKP ketahuan banyak mengisi jabatan administratif kota dengan pejabat yang dekat dengan partai. Selain itu, tender berskala besar cendrung diberikan kepada pengusaha yang loyal kepada AKP. Kaum nasionalis dan Islam konservatif yang dekat dengan pemerintah juga mendapat beragam kemudahan dari pemerintah.

Tapi meski disangsikan, niat mundur Erdogan tetap memicu diskusi soal penggantinya, mengingat kondisi kesehatannya yang acap diisukan memburuk di usia ke70.

Setelah kegagalan menantu tertuanya, Berat Albayrak, sebagai menteri keuangan, Erdogan diprediksi menyiapkan putranya, Bilal, atau menantu mudanya, Selcuk Bayraktar, sebagai pewaris tahta.

Tapi apakah keduanya akan mampu mencetak kesuksesan bersama partai AKP layaknya Erdogan? "Pada dasarnya, tidak ada lagi partai, yang ada hanyalah Erdogan," kata pakar politik Hakki Tas.

Wartawan Turki, Ragip Soylu, memperingatkan betapa situasi politik bisa terus berubah sebelum pemilu kepresidenan. Tahun 2028 masih sangat jauh di masa depan, tulisnya di X. Sampai saat itu, Erdogan bisa saja berubah pikiran dan malah mengubah konstitusi untuk mencabut pembatasan masa jabatan dua kali bagi kepala negara.

AKP berusaha menghadiahkan masa jabatan ketiga bagi Erdogan. Namun untuk mengamandemen konstitusi atau memajukan pemilu, partai pemerintah masih kekurangan 40 suara di parlemen.

rzn/as