1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kesehatan

Boreout Sama Bahayanya Dengan Burnout?

1 April 2020

Kerja tidak menantang dan membosankan, dalam jangka panjang bisa membuat sakit. Penderita Boreout Syndrom juga bisa menderita depresi, gangguan tidur dan sakit kepala.

https://p.dw.com/p/3aFbL
Foto simbol boreout
Foto: Colourbox

Pandemi virus corona saat ini, memaksa banyak pekerja kantoran bekerja dari rumah. Home office menurunkan kecepatan kerja yang biasa dilakoni. Di kantor biasanya jadwal harian amat padat, meeting bisnis susul menyusul, usai kerja dilanjut latihan di studio kebugaran, atau after work drink bersama teman atau juga belanja.

Sekarang dalam kondisi home office, semua melambat. Beban kerja untuk sebagian orang berkurang, dari biasa sibuk dari satu rapat ke rapat berikutnya, kini orang harus bekerja dari sofa. Tidak ada lagi latihan kebugaran, karena fitness studio ditutup, gantinya yoga sendirian di rumah. Kontak sosial juga berkurang drastis.

Positifnya, orang mungkin lebih punya banyak waktu untuk diri sendiri, untuk melakukan retrospeksi dan menggali ide-ide baru. Tapi juga ada sisi negatifnya, kebosanan ekstrim dan tidak adanya tantangan, bisa memicu sindrom boreout yang membuat orang sakit sama hanya dengan sindrom burnout.

Gejalanya sama dengan burnout

Terminologi boreout sebagai paradoks dari sindrom burnout untuk pertama kalinya diperkenalkan dan didefinisikan oleh konsultan perusahaan Peter Werder dan Philippe Rothlin pada tahun 2007. Jika burnout dipicu beban kerja dan target berlebihan, boreout dipicu hal yang sebaliknya.

Kedua konsultan mendefinisikan, pemicu boreout mencakup tiga elemen utama. Tantangan terlalu ringan, tidak ada minat dan kebosanan di tempat kerja yang saling berkaitan dan saling memengaruhi. 

“Mereka yang secara permanen tidak diberi tantangan kerja, akan merasa bosan dengan pekerjaannya. Jika kebosanan juga permanen, minat pada apa yang mereka kerjakan juga akan lenyap,“ tulis kedua pakar dalam bukunya “Diagnose Boreout“.

Jumlah persentase penduduk yang pernah mengalami gejala Boreout di lima negara
Jumlah persentase penduduk yang pernah mengalami gejala Boreout di lima negara

Walau penyebabnya berbeda, orang yang mengalami boreout akan menderita gejala yang sama dengan burnout, yakni depresi, apatis, gangguan tidur, tinitus, mudah terserang infeksi, keluhan sakit perut, sakit kepala atau pusing. Karena itulah, sindrom boreout juga sering dijuluki adiknya sindrom burnout.

Fenomena absurd pada kasus boreout

Paradoks mencolok pada orang yang menderita boreout adalah, mereka terus berusaha bekerja dan menunjukkan bahwa beban kerjanya juga berat. Hal ini diduga merupakan cara menyembunyikan penderitaannya, dan jangan sampai diberi pekerjaan tambahan.

Pakar sosiologi Elisabeth Prammer dari Wina, Austria melakukan riset lebih jauh terkait sindrom boreout ini. Dalam analisa sosiologi “Boreout- Biografi Kurangnya Beban Kerja dan Kebosanan“, ia meneliti strategi perilaku penderitanya.

Mereka biasanya membawa dokumen kerja ke rumah. Secara implikasi ini berarti banyak kerja dan identifikasi dengan perusahaan. Strategi paradoks burnout itu, disebut strategi tas dokumen. Selain itu, ada strategi komitmen palsu, dengan datang paling pagi dan pulang paling akhir dari kantor. Hal ini untuk menunjukkan betapa banyaknya pekerjaan mereka.

“Barangsiapa ingin membangkitkan kesan, mereka bekerja keras, harus melakukan komunikasi bahwa mereka banyak kerja,“ ungkap Prammer lebih lanjut. 

Belum ada kriteria diagnosa

Sejauh ini para psikolog amat sulit mendiagnosa pasien burnout maupun boreout, karena kriteria diagnosa internasionalnya tidak ada. Untuk kasus boreout, banyak pasien di bawah sadarnya berupaya menunjukkan gejala burnout. Paling tidak, karena sindrom yang muncul juga serupa.

Barulah jika dilakukan terapi, struktur sosial dari simptomanya dapat dikenali, dan diagnosa boreout dapat ditegakkan. Alasan mengapa penderita boreout berperilaku seperti itu amat panjang. Di satu sisi mereka takut, jika bekerja rajin, akan terikat di tempat kerja, tapi mereka juga tidak mau dipecat, karena secara ekonomi mereka tergantung tempat kerjanya.

Bagaimana akhir dari problem ini, ditegaskan oleh Werder dan Rothlin dalam bukunya. “Tidak melakukan apa-apa saat bekerja, dalam jangka panjang adalah horor. Karena tiap hari mereka harus melakukan tipuan, seolah sibuk bekerja. Dalam jangka panjang hal ini sangat menegangkan,“ papar kedua pakar ini.

Selain itu, apa yang dilakukan itu sangat tidak menyenangkan. “Tidak ada tantangan maupun pengakuan prestasi," demikian tulis Werder dan Rothlin dalam bukunya “Diagnose Boreout“

Faktor penyebab di kantor

“Para pekerja yang merasa terancam risiko boreout harus melakukan jeda dan mencari tahu di mana masalahnya,“ ujar pakar psikologi Jelena Becker. Dalam waktu bersamaan, perusahaan atau juga jajaran pimpinan punya kewajiban membantu karyawannya.

“Nilai perusahaan sudah jelas bagus dan penting, tapi juga paralel dengan itu nilai masing-masing pekerja harus dilihat, dan keduanya dikombinasikan,“ tambah pakar psikologi itu.

Dalam proses keseharian di tempat kerja, ini artinya jajaran pimpinan harus lebih sering berdialog dengan pekerja. Terutama untuk membahas sasaran individu masing-masing pekerja, bukan menagih hasil kerja atau pemenuhan target.

Senada dengan itu, pakar sosiologi Prammer melihat dalam banyak kasus boreout, politik personal di perusahaan punya kontribusi menentukan. Karena itu, baik Prammer maupun Becker menyarankan, jika karyawan menghadapi masalah baik itu boreout atau burnout, tempat kerja juga harus bekerjasama mencari solusinya. as/vlz