1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Cina dan Perang di Ukraina: Terpaksa Jadi Penengah?

Prof. Dr. Dr. Alexander Görlach
Alexander Görlach
16 Maret 2022

Perang di Ukraina yang mengguncang perekonomian global tidak bisa diabaikan oleh Cina. Xi Jinping ingin perekonomian lancar, agar pemilihannya menjadi pemimpin partai seumur hidup tetap mulus. Opini Alexander Görlach.

https://p.dw.com/p/48YtL
Foto ilustrasi perang di Ukraina
Foto ilustrasi perang di UkrainaFoto: State Emergency Service of Ukraine/Handout/REUTERS

Dampak perang di Ukraina sudah terasa di Cina. Karena itu, Cina sangat berkepentingan agar konflik itu bisa secepatnya diakhiri. Kementerian Luar Negeri di Beijing dengan cepat membantah berita tentang permohonan bantuan persenjataan dari Rusia dan menyebutnya sebagai "Fake News". Tapi tetap saja, kedekatan Cina dengan Rusia sekarang menjadi tekanan.

Cina adalah salah satu pengimpor besar gandum dari Ukraina dan juga dari Rusia. Sejak serangan Rusia, harga gandum melejit tinggi. Untuk menenangkan rakyat, Xi Jinping cepat-cepat membuat pernyataan: Dia berjanji bahwa Cina akan melepaskan diri dari ketergantungan impor dari luar negeri.

Pemimpin Cina Xi Jinping ingin dipilih sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis Cina untuk seumur hidup bulan November nanti, pada Kongres Partai Komunis Cina yang ke-20. Sebenarnya, jabatan Sekretaris Jenderal menurut aturan partai sudah dibatasi sejak 1980 hanya maksimal dua kali masa jabatan lima tahun. Aturan itu dibuat setelah pengalaman buruk dengan Mao Zedong.

Prof. Dr. Alexander Görlach
Prof. Dr. Alexander GörlachFoto: Hong Kiu Cheng

Trauma „Revolusi Kelaparan"

Cina pernah dilanda bencana kelaparan besar 1959 sampai 1961, Ketika program ideologis Maozedong menyebabkan kekacauan ekonomi dan pertanian. Diperkirakan sampai 76 juta penduduknya ketika itu meninggal karena kelaparan.

Hal inilah yang menjadi kekhawatiran Xi Jinping, karena rakyat yang kelaparan bisa memberontak dan membuyarkan rencananya untuk berkuasa seumur hidup. Majalah berita terbesar Jerman "Der Spiegel" baru-baru ini memberitakan, Cina mendesak PBB untuk tidak mempublikasikan sebuah laporan yang memprediksi ancaman bahaya kelaparan, jika perang di Ukraina terus berlanjut.

Padahal awal Februari Xi Jinping baru saja mendemonstrasikan kedekatannya dengan Vladimir Putin. Baru-baru ini, Cina juga menyebut Rusia sebagai "mitra strategis terpenting”. Berbagai Kerjasama sudah direncanakan secara luas, mulai dari proyek luar angkasa sampai kerja sama dalam pengawasan internet.

Mencari peran yang tidak merugikan

Sekarang, tekanan makin besar muncul di panggung diplomasi internasional agar Cina mau berperan menghentikan perang di Ukraina. Namun Beijing khawatir, peran itu justru bisa menyedot makin banyak perhatian terhadap berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di negaranya sendiri. Terutama ambisi Cina untuk menguasai Taiwan bisa dipermasalahkan.

Beijing tidak mengecam invasi Rusia ke Ukraina, namun pada saat yang sama mengimbau semua pihak yang bertikai untuk kembali ke meja perundingan. Cina tidak menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Rusia, namun juga tidak memberikan bantuan ekonomi kepada Rusia. Demikian juga dengan bantuan militer untuk Rusia, Beijing tidak akan memenuhinya. Namun untuk jalan selamat, mereka membantah bahwa ada permintaan semacam itu dari Rusia.

Sebuah peribahasa Cina mengatakan: banyak ikan, banyak daging. Maksudnya, sedapat mungkin orang harus mendapatkan dan menawarkan banyak hal dari dan kepada semua pihak. Siapa yang menyajikan hidangan lengkap di atas meja, akan mendapat pujian dari tamunya. Namun semakin lama perang di Ukraina berlangsung, makin sedikit yang bisa disajikan Xi Jinping kepada rakyatnya, dan ini bisa menghambat cita-citanya menjadi penguasa seumur hidup, baik dalam pemerintahan maupun dalam organisasi partai komunis.

Jadi, mau tidak mau Beijing harus muncul untuk menengahi konflik di Ukraina, sebelum dampaknya makin parah pada perekonomiannya sendiri. Di lain pihak, Cina juga ingin menghindari konfrontasi terbuka dengan AS dan Barat. Seandainya Rusia berhasil melibatkan Cina berpihak kepadanya dalam konflik ini, Beijing sadar mereka akan kalah.

*Alexander Görlach adalah peneliti senior di Carnegie Council for Ethics in International Affairs und Research Associate di Oxford University. Pernah tinggal di Taiwan dan Hong Kong, bidang uatama yang didalaminya adalah kebangkitan Cina menjadi adidaya dunia. Dia juga bekerja untuk Harvard University dan University of Cambridge. (hp/vlz)