1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sunat-Menyunat Bonus Atlet Disabilitas Berprestasi

6 Oktober 2018

Protes atlet disabilitas kepada organisasi yang meminta setoran harus jadi titik masuk untuk memperbaiki sistem dan tradisi olahraga prestasi di Indonesia. Persoalan lama ini harus segera diselesaikan. Opini Zaky Yamani.

https://p.dw.com/p/34SQd
Tischtennis  Asian Para Games 2018
Foto: picture-alliance/dpa/A. Raharjo

Pertengahan tahun 2018, enam atlet paralympic asal Jawa Barat melanjutkan aksi jalan kaki dari Bandung menuju Jakarta. Mereka ingin mengembalikan medali yang telah mereka peroleh kepada Presiden Joko Widodo, sebagai protes atas permintaan National Comittee Paralympic of Indonesia (NPCI), yang meminta "jatah” dari bonus uang yang diberikan negara kepada para atlet itu, setelah mereka meraih medali di Pekan Paralimpiade Nasional (Peparnas) XV tahun 2016.

Para atlet itu menduga, karena mereka tidak mau memberikan setoran sebesar 25 persen kepada NPCI, mereka tidak dipanggil untuk diikutkan dalam ASEAN Para Games 2017 dan Asian Para Games 2018.

NPCI sendiri telah membantah pernyataan enam atlet itu tidak dipanggil untuk ikut dalam Asian Para Games 2018 karena mereka tidak mau membayar setoran 25 persen dari bonus uang yang mereka terima.

Penulis: Zaky Yamani
Penulis: Zaky YamaniFoto: DW/A.Purwaningsih

Kasus itu sudah dibawa ke Pengadilan Negeri Bandung, dan sudah digelar tujuh kali sidang, dan hakim mediasi telah meminta kepada NPCI untuk mengabulkan permintaan para atlet untuk diikutkan dalam pelatihan nasional (pelatnas) Asian Para Games 2018, namun pengurus NPCI tidak pernah menghadiri sidang dan hanya mengutus kuasa hukumnya saja, sehingga sampai artikel ditulis belum ada keputusan dari NPCI untuk memasukkan para atlet itu ke pelatnas.

Apakah ada korelasi antara tidak diberikannya setoran dengan tidak dipanggilnya para atlet itu ke pelatnas, masih harus dibuktikan secara hukum. Tetapi siapa pun pasti sulit untuk menepis dugaan itu, karena fakta itu mengarah pada satu pertanyaan: kenapa atlet-atlet yang sudah terbukti berprestasi tidak dipanggil ke pelatnas?

Dan di tengah pertanyaan itu ada fakta lain, bahwa para atlet itu tidak mau memberikan setoran dari uang bonus mereka kepada NPCI. Uang yang diminta pun tak sedikit, 25 persen dari total uang bonus Rp 1,7 miliar yang diterima enam atlet itu.

UU berpihak pada penyandang cacat

Kasus ini mencuat karena para atlet itu berani mengungkapkan persoalan yang menimpa mereka.

Ditambah lagi, ada aturan yang tegas tentang penyandang cacat, yaitu Pasal 142 Undang Undang RI No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, "Setiap orang yang ditunjuk mewakili kepentingan penyandang disabilitas dilarang melakukan tindakan yang berdampak kepada bertambah, berkurang, atau hilangnya hak kepemilikan penyandang disabilitas tanpa mendapat penetapan dari pengadilan negeri."

Permintaan NPCI yang meminta para atlet itu menyetorkan 25 persen dari uang bonus mereka sudah merupakan pelanggaran atas Undang-Undang No. 8 tahun 2016.

Apalagi jika benar jika para atlet itu tidak dilibatkan dalam pelatnas ASEAN Para Games 2017 dan Asian Para Games 2018 karena tidak mau memberikan setoran, pelanggaran moral yang dilakukan NPCI bertambah berat.

Jarang terungkap ke publik

Saya pikir persoalan uang setoran yang harus diberikan para atlet berprestasi kepada organisasinya atau pihak-pihak lain bukan persoalan baru di Indonesia, tapi sangat jarang diungkap ke hadapan publik.

Padahal persoalan ini sangat penting untuk dibahas dan diselesaikan, karena setidaknya ada dua alasan.

Pertama, tidak wajar jika atlet yang sudah menunjukkan prestasinya malah dijadikan "sumber penghasilan” organisasi atau pihak-pihak lain dan itu menunjukkan sikap mental yang buruk dari para pengurus bidang olahraga kepada atlet binaan mereka.

Kedua, praktik setoran itu menunjukkan ada ketidakberesan dalam pengaturan anggaran negara untuk bidang olahraga, yang memberi peluang pada aksi premanisme terselubung.

Seorang atlet memang tidak mungkin berusaha sendiri untuk bisa berprestasi. Ada proses seleksi dan pelatihan yang melibatkan organisasi, ada kerja keras banyak pihak dalam membentuk seorang atlet berprestasi, ada banyak uang yang dikeluarkan untuk membuat seorang atlet berprestasi.

Bonus sebagai apresiasi

Tapi tidak seharusnya kita berpikir, saat seorang atlet menang dalam lomba, maka dia harus memberikan sebagian hadiahnya kepada mereka yang merasa telah mengurus atlet itu. Karena saat seorang atlet berlaga dalam sebuah perlombaan, eksekusi untuk kemenangan itu dilakukannya sendiri—atau bersama timnya di lapangan dalam olahraga tim.

Jadi, sudah seharusnya hadiah dan bonus diberikan sebagai apresiasi atas eksekusi itu kepada seorang atlet. Karena itu pula, kita tidak pernah menyaksikan medali atau piala diberikan kepada setiap orang di dalam organisasi olahraga ketika seorang atlet menang. Medali, piala, dan hadiah dalam bentuk apa pun atas kemenangan seorang atlet, adalah hak untuk dia sendiri.

Organisasi bisa mendapatkan uang atau penghargaan dari cara lain, misalnya saja "menjual” kemenangan atlet binaannya—entah untuk pembinaan atau untuk keuntungan organisasi itu sendiri—misalnya dengan mencari sponsor baik dari swasta maupun dari negara.

Di sini kita bisa melihat, peran penting dari marketing atau setidaknya pelobi di setiap organisasi yang menaungi atlet untuk bisa meraih uang dari swasta dan/atau negara.

Bagaimana penyelesaiannya?

Dari situasi itu pula organisasi harus bisa mendorong setiap atletnya untuk terus berprestasi agar bisa mendapatkan banyak sponsor atau donor.

Prestasi atlet harus dijadikan portofolio kepada sponsor atau donor untuk mendapatkan pembiayaan bagi organisasi, bukan sebaliknya atlet didorong berprestasi agar bisa memberikan sebagian uang hadiahnya bagi organisasi. Karena jika hal terakhir itu yang dilakukan, atlet telah diposisikan sebagai sapi perah organisasi.

Dari kasus atlet paralimpik di Jawa Barat, kita juga bisa melihat ada persoalan hubungan negara dengan organisasi pembina atlet. NPCI mengklaim, permintaan organisasi itu agar atlet menyumbangkan sebagian hadiah uangnya, karena organisasi itu belum mendapatkan pembiayaan dari APBD atau APBN, karena mereka sudah berpisah dari KONI.

Namun dari penelusuran saya atas pemberitaan mengenai NPCI, saya menemukan ada aturan kegiatan NPCI difasilitasi oleh pemerintah kabupaten/kota melalui dinas terkait bidang olahraga. Pada 2017, misalnya, Pemerintah Kota Bandung memberikan uang pembinaan kepada NPCI Kota Bandung sebesar Rp 2,5 miliar. Apakah anggaran itu tidak cukup untuk operasional organisasi, bukan artinya organisasi bisa membebankan kekurangannya kepada atlet. Karena tugas atlet adalah menorehkan prestasi, bukan mencari uang untuk organisasi.

Lusinan masalah mengintai

Saya menduga, kasus permintaan setoran dari atlet yang menang lomba kepada organisasi, muncul dari jalinan rumit antara persoalan manajemen anggaran di level pemerintah dan organisasi pembina atlet, dengan sikap mental yang buruk dari pengurus organisasi atlet: ingin mendapatkan jatah hadiah dari atlet yang mereka bina, padahal hadiah itu bukan hak organisasi.

Persoalan yang menimpa enam atlet paralimpik di Jawa Barat sangat mungkin terjadi pada atlet di bidang lain di seluruh Indonesia. Bukan sekali-dua kali saya dengar keluhan para atlet—dan bahkan calon atlet—yang harus mengeluarkan uang pelicin atau memberikan bagian dari honor kemenangannya untuk bisa dijadikan atlet atau untuk direkrut ke dalam tim kejuaraan. Atau dalam kasus lain, ada atlet yang terpaksa jalan sendiri untuk berlaga di kejuaraan, tanpa dukungan organisasi dan negara. Ketika atlet itu menang, para pejabat dan institusi negara malah berlomba saling klaim bahwa prestasi sang atlet adalah berkat peran mereka.

Sudah selayaknya negara ini mengubah cara pandang dan perilaku terhadap atlet. Pembenahan manajemen anggaran negara serta pengawasan penggunaannya untuk bidang olahraga bisa jadi langkah awal dari perubahan itu.

 

Zaky Yamani, jurnalis dan penulis

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis

Bagaimana  komentar Anda atas opini di atas? Silakan tulis dalam  kolom komentar di bawah ini.