1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiLibya

Krisis Energi, Bisakah Minyak dari Libya Jadi Andalan?

Cathrin Schaer
11 Agustus 2022

Sekalipun situasi politiknya tidak menentu, Libya tidak pernah berhenti memproduksi minyak. Beberapa ahli mengatakan, menstabilkan produksi minyak Libya bisa membantu menurunkan harga bahan bakar global.

https://p.dw.com/p/4FN3o
Terminal minyak Az Zuwaytina di Libya
Terminal minyak Az Zuwaytina di LibyaFoto: Maurizio Gambarini/dpa/picture alliance

Setelah penurunan selama berbulan-bulan yang penuh gejolak, produksi minyak Libya telah meningkat lagi menjadi lebih dari satu juta barel per hari sejak pertengahan Juli. Sebelumnya, Libya hanya memproduksi sekitar setengah dari jumlah itu, sebagian besar karena ketidakstabilan politik.

Sekarang beberapa ahli mengatakan, minyak dari Libya mungkin bisa membantu pasar global menghadapi krisis energi dan membawa pasar minyak internasional kembali ke keseimbangan. Libya memiliki persediaan minyak kesembilan terbesar dunia.

Dalam sebuah tulisan dari bulan Juli berjudul "Libya Bisa Membuat atau Menghancurkan Diplomasi Minyak Timur Tengah Biden," penulis Ben Fishman, pakar Libya di Washington Institute for Near East Policy, mengemukakan bahwa pemerintah Amerika Serikat perlu berusaha lebih keras untuk menstabilkan politik Libia.

Karena negara-negara pengekspor minyak yang tergabung OPEC baru-baru ini hanya menyetutujui peningkatan produksi minyak sebanyak 100.000 barel pada bulan September, kenaikan yang relatif kecil. Sedangkan produksi minyak Libya tidak dibatasi oleh OPEC.

Libya sendiri tidak pernah berhenti memproduksi minyak, karena negara itu bergantung pada pendapatan minyak. Sekitar 94% ekspornya berasal dari minyak, yang merupakan sekitar 60% dari pendapatan nasionalnya.

Kantor pusat perusahaan minyak nasional Libia NOC di Tripoli
Kantor pusat perusahaan minyak nasional Libia NOC di TripoliFoto: Hazem Ahmed/REUTERS

Masalah produksi dan sengketa politik

Sebelum revolusi 2011, Libya memproduksi rata-rata 1,3 miliar barel minyak per hari. Menurut data Bank Dunia, produksi turun menjadi 400.000 barel per hari akibat konflik antara dua pemerintah yang bersaing di timur dan barat negara itu. Ketika gencatan senjata diumumkan pada pertengahan 2020, produksi minyak kembali naik menjadi sekitar 1,2 juta barel per hari pada 2021.

Namun, output sejak Juli turun lagi ke sekitar 589.000 barel per hari, menurut data statistik Bloomberg. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh blokade militer terhadap fasilitas minyak lokal dan blokade kelompok suku terhadap terminal ekspor. Ini terjadi di tengah perselisihan tentang siapa yang harus mengepalai Perusahaan Minyak Nasional NOC, satu-satunya organisasi yang diizinkan untuk mengekspor minyak Libya ke luar negeri.

Blokade berakhir pertengahan Juli, ketika pemerintah di Libya barat setuju untuk menunjuk Farhat Bengdara sebagai Kepala NOC yang baru. Bengdara dipandang sebagai sekutu Khalifa Haftar, pemimpin milisi yang kuat di Libia timur. Kelompok suku yang telah memblokade fasilitas produksi minyak juga bersekutu dengan Haftar. Penunjukan Bengdara dipandang sebagai cara pemerintah Libia barat untuk menenangkan Khalifa Haftar dan membuat minyak yang sangat penting bisa mengalir lagi.

Kementerian Perminyakan Libya telah mengumumkan bahwa dalam lima tahun ke depan, negara itu akan berusaha memproduksi 2 sampai 2,5 juta barel per hari. Saat ini sebagian besar gas Libya mengalir ke Italia. Duta besar Italia untuk Libya Giuseppe Buccino pada bulan April mengatakan, dia percaya bahwa peningkatan 30% dalam ekspor gas dari Libya akan dimungkinkan dengan investasi yang memadai.

Khalifa Haftar
Khalifa Haftar, salah satu orang kuat di LibiaFoto: Abdullah Doma/AFP/Getty Images

Kepentingan asing

Tarek Megerisi, peneliti senior di European Council on Foreign Relations, mengatakan bahwa jika Eropa membantu Libya, mereka dapat "menstabilkan rute energi utama antara Afrika Utara dan Eropa, dan mengubah sumber ketidakstabilan menjadi mitra yang berharga."

Menstabilkan produksi minyak dan gas Libya harus lebih dari sekedar melayani kepentingan asing, kata Emadeddin Badi, peneliti senior di Atlantic Council kepada DW. Ini juga bisa menjadi langkah penting pertama menuju solusi politik di Libia yang bisa membawa stabilitas.

"Mengatasi kerentanan di sektor produk minyak Libya memang rumit," tulis Amadeddin Badi dalam laporan tentang industri minyak Libya untuk Yayasan politik Jerman, Friedrich Ebert Stiftung. Namun, tantangan ini mungkin sebenarnya "lebih mudah diatasi" daripada beberapa masalah besar lainnya yang mendorong kerapuhan Libya.

"Kita melihat dialog luas seputar pembagian sumber daya sebagai prasyarat untuk stabilitas jangka panjang. Siapa saja yang peduli tentang stabilitas jangka panjang Libya harus mendukung stabilitas jangka panjang sektor gas dan minyaknya," tulisnya.

(hp/ha)