1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Krisis Iklim Sudah Dekat

Indonesien Geger Riyanto Autor, Essayist und Aktivist
Geger Riyanto
10 Desember 2022

Konferensi iklim dunia COP27 di Mesir telah berakhir. Krisis iklim sudah terasa. Bagaimana kesiapan kita menghadapi darurat iklim? Bagaimana pula peran media dalam menyebarkan informasinya? Kolom Geger Riyanto.

https://p.dw.com/p/4Jzx7
Kekeringan di Provinsi León, Spanyol
Gambar ilustrasi krisis iklimFoto: Ministerium für ökologischen Wandel

Parigi, dusun pesisir tempat saya penelitian itu dihajar oleh angin puting beliung beberapa waktu silam. Perahu-perahu yang bersandar di pantai terpental jauh ke daratan atau tersapu ke tengah laut. Dek-dek perahu yang terbuat dari kayu ambruk, tergulung ombak. Air laut bahkan menggenangi jalan setapak di kampung mereka yang jauh dari laut.

Saya bisa mendengar dari video yang mereka kirimkan orang-orang berteriak panik sambil menatap nanar ke arah laut. Keganasan ombak semacam itu tak pernah mereka lihat sebelumnya. Ketika malam tiba, warga dusun yang bermukim di tepi laut tak berani kembali ke rumahnya. Mereka mendirikan tenda di bukit, cemas dengan kemungkinan badai kedua terjadi di malam itu kala mereka tidur.

Pada 22 Februari 2022, badai menerpa wilayah timur Indonesia. Parigi hanyalah salah satu saksi dari fenomena alam tersebut. Fenomena ini merupakan anomali dan dapat dipastikan mencuat dari perubahan iklim yang semakin tak terbendung beberapa tahun terakhir.

Namun, saya tak akan pernah mengetahui tentang badai yang menakutkan ini bila tak memiliki teman-teman di Indonesia timur. Raib ke manakah cerita tentang perubahan iklim yang dampaknya tengah mengancam kita sekarang?

Logika media

Persoalan tak terberitakannya berita iklim tidak bisa dipisahkan dari ekosistem media Indonesia yang bermasalah. Pertama-tama, apa yang kebanyakan diberitakan media adalah apa yang terjadi di Jakarta. Lanskap pemberitaan seakan hanya terpilah menjadi dua, berita Jakarta dan berita non-Jakarta. Situasi ini dirasakan dan mengundang kesinisan wartawan kritis di luar Jakarta. Berbagai isu yang terjadi di Jakarta dengan cepat menjadi isu nasional, sementara isu-isu di luar Jakarta harus benar-benar berdampak besar baru bisa mendapatkan perhatian serentak dari media-media.

Ketimpangan ini tak lepas dari fakta sumber daya media kita yang terpusat di Jakarta. Selain itu, akibat ketimpangan infrastruktur dan ekonomi, sebagian besar pembaca media masih berlokasi di Jakarta atau sekitarnya. Walhasil, apa yang relevan untuk sebagian besar audiens media kita adalah apa yang terjadi di ibu kota. Pembaca di luar Jakarta dianggap sebagai audiens nomor dua, dan harus dijejali dengan informasi-informasi yang berasal dari Jakarta.

Dampak perubahan iklim di wilayah-wilayah produktif seperti tangkapan ikan nelayan kecil semakin berkurang atau musim tanam yang kian berisiko menjadi tidak nampak. Semua baru nampak ketika menjadi data statistik nasional yang tidak bebas dari kemungkinan manipulasi lantaran adanya kebutuhan birokrat daerah untuk tampil berprestasi.

@gegerriy Esais dan peneliti yang tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg. 
Penulis: Geger RiyantoFoto: Privat

Peliputan bencana yang bermasalah

Selain itu, peliputan media atas bencana masih relatif sepotong-sepotong. Wilayah Jakarta dan sekitarnya sendiri menanggung dampak perubahan iklim. Cuaca ekstrem jauh lebih sering terjadi belakangan yang biasanya diiringi angin puting beliung dan hujan es. Akan tetapi, persoalannya wartawan yang ditugaskan meliput bencana hidrometeorologi hanya diminta memberitakan peristiwa.

Apa maksudnya? Bencana sebenarnya membutuhkan liputan yang berkepanjangan. Aspek-aspek yang menyebabkan bencana seperti kebijakan, perubahan tata kota, pun tentu saja perubahan iklim acap tak terlihat. Aspek-aspek ini bisa jadi merupakan bagian dari perubahan panjang sejak beberapa tahun belakangan namun dampaknya baru dirasakan sekarang. Hal ini hanya bakal tampak bila bencana diliput oleh jurnalis yang konsisten mendalami tema tersebut.

Sayangnya, situasi media kita tak memungkinkan untuk melakukan ini. Berita bencana bukanlah berita yang mengundang pembaca untuk diangkat, kecuali pada saat peristiwa itu terjadi serta dialami oleh masyarakat Jakarta dan sekitarnya. Pun, para jurnalis yang diminta untuk meliput bencana dituntut memproduksi segala macam peristiwa lain yang tengah menagih perhatian publik.

Kecepatan, aktualitas, dan volume menjadi fokus dari media di Indonesia. Sayangnya, hal ini mengorbankan kedalaman yang dibutuhkan dalam peliputan bencana.

Krisis iklim hilang

Krisis iklim adalah hal yang tidak secara langsung nampak di hadapan kita. Yang dirasakan oleh orang-orang di berbagai tempat adalah dampaknya yang berbeda-beda. Pemukim pesisir akan merasakan ikan semakin sulit dicari dan cuaca kian sulit diterka. Petani mengalami musim kering atau hujan yang lebih panjang.

Dan masalahnya, kebijakan penting diambil di Indonesia lazimnya didasarkan kepada pengalaman mereka yang tinggal di Jakarta. Bagi mereka yang tinggal di kota ini dan perubahan iklim berakibat banjir yang mengganggu mobilitas sekadar sehari-dua hari, dia mungkin menjadi perkara yang tak sama gentingnya.

Namun, tentu saja dalam kenyataannya kehidupan seluruh lini masyarakat terkoneksi. Kegagalan panen yang risikonya lebih besar akan ditanggung oleh semuanya dengan kenaikan harga pangan. Demikian juga dengan penurunan tangkapan ikan, kekeringan di wilayah-wilayah rural, pun kenaikan permukaan air laut. Dan kabar buruknya, keadaan iklim tak kian membaik. Suhu global masih akan terus meningkat dan dalam skenario yang realistis ia masih akan meningkat 3,6 derajat Celsius pada akhir abad ke-21.

Artinya? Bakal ada kian banyak ketidakpastian, kekeringan, gagal panen, bencana.

Jadi, di mana perubahan iklim? Di mana-mana. Sayangnya, orang-orang Jakarta yang berpengaruh tidak cukup merasakannya untuk menuntut dan meretas kebijakan yang berorientasi mengatasinya.

@gegerriy 
Esais dan peneliti yang tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg. 


*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis. 
*Silakan bagi komentar Anda atas opini di atas pada kolom di bawah ini