1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KriminalitasIndonesia

Maraknya Kasus Mutilasi dalam Kurun Waktu 4 Bulan, Ada Apa?

Kusumasari Ayuningtyas
3 November 2022

Juni hingga September, publik Indonesia dikejutkan dengan 4 kasus mutilasi di tempat berbeda. Sakit hati sering jadi motif pelaku, simak perbincangan dengan psikolog forensik Reza Indragiri Amriel tentang hal ini.

https://p.dw.com/p/4IxWg
Ilustrasi hukum
Ilustrasi hukumFoto: fikmik/YAY Images/IMAGO

Dalam beberapa bulan belakangan, kasus pembunuhan dengan disertai mutilasi kembali menyita perhatian publik di Indonesia. Setidaknya dalam kurun waktu 4 bulan berturut-turut terjadi 4 kasus mutilasi yang dilakukan di berbagai daerah.

Juni lalu, seorang ayah berinisial R di Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, membunuh dan memutilasi putri kandung yang baru berusia 7 tahun setelah bertengkar. Pertengahan Juli di Ungaran, Jawa Tengah, seorang pria memutilasi pacarnya karena sakit hati setelah korban menyebutnya sebagai penganggur.

Pada bulan Agustus, empat warga Mimika di Papua menjadi korban pembunuhan disertai mutilasi dan kasusnya masih ditangani pihak berwenang. Sementara pada 9 September, jasad tidak lengkap juga ditemukan di Pantai Marina, Semarang, Jawa Tengah. Kasus ini juga masih dalam penyelidikan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mutilasi adalah tindakan memotong-motong tubuh yang biasanya tubuh hewan dan manusia. Sedangkan menurut perspektif kriminologi, mutilasi adalah terpisahnya anggota tubuh yang satu dari anggota tubuh lainnya oleh sebab yang tidak wajar. Pasal yang sering kali digunakan untuk menjerat pelaku pembunuhan dengan mutilasi adalah Pasal 340 Kitab Undang-Undang Pidana atau KUHP tentang pembunuhan berencana.

Sakit hati sering kali disebut menjadi motif seseorang melakukan pembunuhan dengan mutilasi, meski tidak menutup kemungkinan adanya motif lain. DW Indonesia mewawancarai ahli psikologi forensik Reza Indragiri Amriel tentang apa yang mendorong seseorang hingga melakukan mutilasi.

Psikolog forensik Reza Indragiri Amriel
Psikolog forensik Reza Indragiri AmrielFoto: privat

DW Indonesia: Apa pendapat Anda tentang peristiwa pembunuhan yang disertai tindakan mutilasi akhir-akhir ini?

Reza Indragiri Amriel: Walau ekstrem, mutilasi bukan pokok persoalannya. Induk masalah tetap pada pembunuhan. Mutilasi hanya bentuk perilaku susulan ke tubuh korban. Jadi, jangan berpikir tentang bagaimana mencegah mutilasi, tetapi fokus pada bagaimana mencegah terjadinya pembunuhan. 

Apa yang biasanya jadi motif pelaku untuk memutilasi korbannya?

Ada motif emosional, mutilasi adalah ekspresi suasana hati yang seolah tetap tidak melegakan hanya dengan pembunuhan, kemudian dibutuhkan kegiatan susulan agar perasaan negatif pelaku bisa turun ke titik yang ideal. Atau motif instrumental, mutilasi adalah cara untuk merusak atau menghilangkan barang bukti kejahatan, atau pesan simbolik ke target yang disampaikan dengan cara menjadikan tubuh korban sebagai kurirnya... Jika motifnya emosional, maka suasana hati pelaku menggelegak dengan kemurkaan. Jika motifnya instrumental, pelaku tenang dan penuh kalkulasi. 

Apakah pelaku mutilasi masuk psikopat? Apakah mereka sadar saat melakukannya?

Saya menghindari penggunaan istilah psikopat atau sosiopat atau gangguan kepribadian antisosial. Riset menemukan, kondisi semacam itu tidak hanya berada pada perilaku ataupun kepribadian. Kondisi itu berada pada kerja otak yang dari sananya memang berbeda. Karena itu, penyebutan istilah-istilah tadi malah seakan memberikan bahan pembelaan diri kepada pelaku. Jadi, pandang saja emosi tenang pelaku sebagai cara yang memang sudah seharusnya dilakukannya agar lolos dari hukum.

Sejauh mana pengaruh lingkungan terhadap psikologi seseorang sehingga mampu melakukan hal itu?

Saat kejadian Ryan Jombang, dan seterusnya, saya mensinyalir ada copycat crime untuk menjelaskan beruntunnya pembunuhan disertai mutilasi kala itu. Copycat crime adalah kejahatan hasil peniruan. (Very Idham Heryansyah atau lebih dikenal dengan Ryan Jombang, adalah terpidana mati kasus pembunuhan berantai yang ditangkap pada 12 Juli 2008. Kejahatan Ryan terendus setelah dia membunuh korban yang bernama Heri didasari cemburu. Dari investigasi polisi diketahui bahwa selain Heri, Ryan juga telah membunuh 10 orang, memutilasi mereka dan 'menanamnya' di halaman belakang rumah orang tuanya di Jombang, Jawa Timur.)

Ada kemungkinan kambuh atau mengulangi lagi di kemudian hari?

Perilaku membunuh bisa berulang, karena itulah ada istilah multiple killer. Ragamnya ada serial killer (pembunuhan berseri), mass killer (pembunuhan massal) dan spree killer (pembunuhan besar-besaran).

Adakah cara untuk mencegah terjadinya hal-hal semacam ini dan membuat seseorang lebih menghargai nyawa dan hak hidup orang lain?

Perlu anger management (pengendalian amarah), manajemen syahwat, untuk mencegah pembunuhan bermotif emosional. (ae)

Wawancara untuk DW Indonesia oleh Kusumasari Ayuningtyas dan telah diedit sesuai konteks