1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Mengenal Jerman dari Bahasanya dalam Keseharian Saya

Era Yusnita Febrianti
8 Mei 2021

Di kampung dan di kota, ada kemungkinan menjumpai orang dewasa dan anak-anak mengenakan seragam tim nasional Jerman atau seragam klub seperti Bayern München atau Borussia Dortmund. Oleh Era Yusnita Febrianti.

https://p.dw.com/p/3t8Ip
Kostum tim kesebelasan sepak bola Jerman menjadi salah satu favorit di Indonesia. Foto Era Yusnita Febrianti, 2014
Kostum tim kesebelasan sepak bola Jerman menjadi salah satu favorit di Indonesia. Foto Era Yusnita Febrianti, 2014Foto: Privat

Apa hal pertama yang muncul dalam pikiran orang Indonesia ketika mendengar kata "Jerman”? Berdasarkan pengalaman saya, sebagian orang mengaitkan Jerman dengan Presiden Republik Indonesia ke-3, yakni Bacharuddin Jusuf Habibie, bapak teknologi Indonesia yang pernah mengenyam pendidikan di Jerman.

Di kampung dan di kota, ada kemungkinan Anda akan menjumpai orang dewasa dan anak-anak mengenakan seragam tim nasional sepakbola Jerman atau seragam klub seperti Bayern München atau Borussia Dortmund. Saya bahkan memiliki boneka Goleo, maskot Piala Dunia 2006 yang diselenggarakan di Jerman. Ini menunjukkan bahwa Eyang Habibie, orang Indonesia yang pernah tinggal di Jerman, buku sejarah, otomotif, dan sepak bola telah menjembatani pemahaman orang Indonesia tentang Jerman, negara yang terletak 11.000 kilometer jauhnya dari Indonesia.

Era Yusnita Febrianti
Era Yusnita FebriantiFoto: Privat

‘Perkenalan' intens saya dengan kebudayaan Jerman dimulai ketika SMA. Saya bersekolah di suatu SMA Negeri di daerah Jombang, Jawa Timur. Bahasa Jerman adalah bahasa asing selain Bahasa Inggris yang diajarkan sejak kelas 10 di sekolah ini. Mungkin orang Jerman tidak akan mengira bahasa mereka diajarkan di kota kecil tempat saya tumbuh. Saat itu saya pun tidak mengira, karena umumnya bahasa asing yang diajarkan di sekolah-sekolah selain Bahasa Inggris adalah Bahasa Jepang, Bahasa Mandarin, dan Bahasa Arab. Ini cukup masuk akal menimbang bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia memiliki sejarah intens dengan bangsa-bangsa ini. Maka, suatu hal yang menarik ketika Bahasa Jerman diajarkan di sekolah menengah (bukan hanya di universitas), karena Jerman merupakan negara yang relatif tidak memiliki hubungan historis yang signifikan dalam catatan sejarah Indonesia yang diketahui publik.

Keberadaan Belanda yang pernah berkuasa di Hindia Belanda selama ratusan tahun bahkan tidak menjamin keberlangsungan Bahasa Belanda di Indonesia. Sejauh yang saya tahu, ketika bercerita dengan teman-teman saya di universitas yang datang dari berbagai wilayah di Indonesia, tidak satupun dari mereka diajarkan Bahasa Belanda di sekolah menengah. Bahasa Jerman nampaknya lebih populer saat ini.

Berdasarkan pengalaman saya, sebagai orang yang tidak pernah mempelajari bahasa Jerman sebelumnya, banyak kata-kata yang tidak familiar, termasuk pengucapan yang sulit untuk ditirukan lidah Jawa/Indonesia saya. Rasanya seperti meraba-raba dalam kegelapan. Namun, hal yang menarik dari mempelajari bahasa baru adalah kesempatan untuk memahami kebudayaan baru. Salah satu hal yang saya pelajari di kelas Antropologi adalah, bahasa merupakan elemen kebudayaan dari suatu masyarakat. Jadi, melalui bahasa, dapat diketahui sebagian karakteristik dari kebudayaan masyarakat penuturnya. Meskipun kesulitan karena tidak familiar dengan Bahasa Jerman, pada saat yang sama, saya menemukan beberapa kemiripan pada tata bahasa Jerman dengan bahasa Indonesia.

Di dalam bahasa Jerman, terdapat perbedaan penggunaan kata Sie dan du. Jika diterjemahkan ke bahasa Inggris, keduanya merujuk pada "you”, sementara dalam Bahasa Indonesia, Sie dapat diterjemahkan menjadi "anda” dan du menjadi "kamu”, karena Sie merupakan bentuk yang lebih sopan dan formal dari du. Dahulu, ketika saya SMA, saya menggunakan patokan tata Bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia yang digunakan untuk merujuk orang yang lebih tua, orang yang dihormati, dan orang yang baru dikenal, kemudian saya aplikasikan ke Bahasa Jerman.

Nampaknya saya harus rajin mempraktikkan Bahasa Jerman dengan penutur aslinya, atau bahkan mempelajari budaya mereka secara lebih dalam agar dapat mengetahui penggunaan du dan Sie yang tepat, bukan tebak menebak.

Selain itu, kosa kata yang paling saya hafal ketika belajar Bahasa Jerman di SMA sampai sekarang adalah kartoffel (kentang) dan wurst (sosis) yang sering dijadikan contoh di buku modul karena merupakan makanan-makanan yang sering disantap orang Jerman. Oh ya! Pretzel adalah salah satu kudapan favorit saya! Yum!

Ketika di universitas, saya menjumpai istilah bahasa Jerman yang lebih merujuk pada ranah filosofis. Oleh karena saya mempelajari Antropologi, hal yang ditekankan oleh pengajar saya adalah verstehen. Ketika saya mencari arti kata verstehen di kamus, secara harfiah istilah tersebut memiliki arti memahami. Namun istilah verstehen ini tidak coba diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris atau bahasa Indonesia karena merupakan suatu konsep. Yang saya tahu, istilah verstehen ini digunakan dalam ilmu sosial setelah pada abad 19 para akademisi sosial Jerman menggunakan istilah ini untuk merujuk pada upaya untuk memahami fenomena sosial melalui sudut pandang orang-orang yang bersangkutan.

Saat saya bergabung dengan himpunan mahasiswa jurusan yang khusus berfokus pada penerbitan majalah Antropologi untuk mahasiswa, tagline majalah tersebut adalah "Verstehen in simple way” yang bermakna bahwa tulisan-tulisan yang dimuat menekankan pada verstehen dengan gaya pembahasan yang ringan dan mudah dipahami.

Ini menyiratkan bahwa pemikiran-pemikiran akademisi Jerman signifikan untuk studi di banyak negara sampai saat ini. Mahasiswa atau peminat kajian bidang sosial dan humaniora pasti tidak asing dengan nama-nama seperti Martin Heidegger, Immanuel Kant, Jurgen Habernas, dan lain-lain. "Bapak” Antropologi Amerika Serikat, Franz Boas, lahir di Jerman dan mengenyam pendidikan di beberapa universitas di Jerman.

Ketika SMA, pada pelajaran Sosiologi, saya juga diperkenalkan dengan konsep gemeinschaft (paguyuban) dan gesellschaft (patembayan) yang dikemukakan oleh Ferdinand Tönnies. Maka, tidak mengejutkan bahwa Jerman nampaknya menjadi negara yang menarik bagi akademisi tidak hanya di bidang sains dan teknologi, namun juga di bidang sosial dan humaniora karena beberapa dosen saya menjadikan Jerman sebagai destinasi studi mereka.

Pada akhirnya, rasa ingin tahu saya tentang mengapa bahasa Jerman lebih populer di Indonesia ketimbang misalnya bahasa Belanda, terjawab sudah, yakni bahwa Jerman memperluas pengaruhnya melalui soft power dalam bidang hiburan seperti olah raga, kuliner, bidang teknologi, serta akademia. Semoga saya dapat mengunjungi Jerman suatu hari nanti. (hp)

**DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: dwnesiablog@dw.com. Sertakan 1 foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri.