1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiNigeria

Nigeria: Kaya Akan Minyak, Tapi Miskin Penyulingan

Thomas Kohlmann | Martina Schwikowski
16 Februari 2023

Nigeria, produsen minyak terbesar di Afrika, tetapi tidak ada cukup kilang minyak, memaksa negara ini untuk mengimpor bahan bakar. Para ekonom berpendapat pemerintah perlu melakukan diversifikasi ekonomi.

https://p.dw.com/p/4NY2j
Kilang minyak di Nigeria
Produksi minyak di Nigeria telah menurun secara signifikanFoto: Construction Photography/Photoshot/picture alliance

Nigeria adalah negara raksasa dalam hal jumlah populasi dan kekuatan ekonominya. Sekitar 220 juta orang tinggal di negara Afrika Barat itu. Bahkan, pada tahun 2050 diperkirakan jumlahnya akan mencapai 375 juta orang.

Negara bagian Lagos saja memiliki hasil ekonomi yang lebih besar dari Kenya. Selain itu, Nigeria menghasilkan Produk Domestik Bruto (PDB) yang lebih besar daripada gabungan semua negara Afrika Barat lainnya.

Kilang minyak di Nigeria
Meskipun Nigeria memiliki empat kilang minyak, negara itu hampir sepenuhnya bergantung pada impor bahan bakarFoto: Construction Photography/Photoshot/picture alliance

Produsen minyak mentah, tapi pengimpor minyak sulingan

Mesin ekonomi Nigeria digerakkan oleh minyak mentah, yang ditemukan dalam jumlah besar di Delta Niger. Namun, terlepas dari kekayaan alamnya, pertumbuhan ekonomi negara itu sedang mengalami kesulitan.

Masalah utamanya adalah Nigeria hampir sepenuhnya bergantung pada impor yang mahal untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar bensinnya, meskipun negara itu merupakan produsen minyak dan gas terbesar di Afrika.

Nigeria memiliki empat kilang minyak milik negara, tetapi kilang-kilang tersebut menjadi bobrok dan menganggur karena salah urus. Pemerintah Nigeria telah mengeluarkan miliaran dolar sebagai dana subsidi bahan bakar setiap tahunnya.

Pakar sumber daya minyak di Lagos, Muazu Magaji menyebutkan bahwa strategi para politisi masih kurang dalam menangani krisis ekonomi di negaranya. "Ini adalah fakta bahwa pemerintah sendiri belum mengembangkan visi untuk ketahanan energi," kata Magaji kepada tim DW.

Penyelundup Minyak Nigeria | Tout Bahan Bakar
Pengendara mobil di Nigeria sering kali harus menghadapi kelangkaan bahan bakar dan antrian panjang di SPBUFoto: PIUS UTOMI EKPEI/AFP

Meningkatnya subsidi bahan bakar

Beberapa hari yang lalu, kepala eksekutif perusahaan minyak negara Nigerian National Petroleum Company (NNPC), Mele Kyari, mengatakan bahwa Nigeria akan membutuhkan sekitar $9,1 miliar (sekitar Rp138 triliun) untuk memenuhi kebutuhan subsidi bahan bakarnya tahun ini.

Meroketnya biaya subsidi bahan bakar tersebut, ditambah dengan kerugian ekonomi akibat jatuhnya harga minyak global, membuat Nigeria mendanai anggarannya hanya dengan pinjaman darurat dari Dana Moneter Internasional (IMF).

Dengan suntikan dana dari Bank Dunia, 5 miliar dolar AS (sekitar Rp75 triliun) telah mengalir ke Nigeria sejak awal pandemi COVID-19 untuk menjaga agar ekonomi terbesar di Afrika ini tidak runtuh.

Harapan untuk kilang minyak raksasa baru

Tepat di luar Lagos, kilang minyak raksasa Dangote sedang dibangun. Setelah beroperasi, kilang ini akan mampu memasok bensin dan diesel untuk Nigeria. Pemilik kilang ini adalah miliarder Aliko Dangote, orang terkaya di Afrika. Namun, penyelesaiannya telah tertunda selama bertahun-tahun.

Kapasitas gabungan dari keempat kilang yang dimiliki pemerintah Nigeria, menghasilkan kurang lebih 450.000 barel per hari. Sedangkan kilang raksasa Dangote mampu menghasilkan 650.000 barel per harinya.

Para ahli telah lama menyerukan agar Nigeria beralih dari ketergantungannya pada minyak. "Kebijakan diversifikasi sayangnya telah berlangsung selama empat atau lima dekade," kata Magaji. "Kami telah berbicara tentang revolusi besar, ingin mempromosikan sektor pertambangan dan mengembangkan pertanian menjadi cabang yang penting, tetapi kami belum berhasil."

Menurut Magaji, Presiden Muhammadu Buhari memang lebih fokus pada pengembangan pertanian. "Kami telah berubah dari pengimpor beras, salah satu yang terbesar di dunia, menjadi swasembada," kata Magaji. "Namun masih belum cukup untuk mengekspor," tambahnya. (kp/yf)