1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Permohonan Maaf Saja Atas Perbudakan Belanda Tidak Cukup

19 Desember 2022

Hampir 150 tahun setelah perbudakan secara resmi diakhiri, pemerintah Belanda akan mengeluarkan permintaan maaf. Namun keturunan korban merasa tidak diajak berkonsultasi, dan justru memperingatkan bahwa itu tidak cukup.

https://p.dw.com/p/4L9pe
Rasisme, Demonstrasi di Amsterdam, Belanda
Tradisi Natal Zwarte Piet, atau Black Pete, masih menjadi topik kontroversial di BelandaFoto: Imago/Paulo Amorim

Perdana Menteri Belanda hari Senin (19/12) dijadwalkan akan mengajukan permhonan maaf atas perannya dalam praktik perbudakan pada abad ke-17. Tetapi pendiri Black Heritage Tours Amsterdam, Jennifer Tosch, yang lahir di Amerika Serikat dari orang tuanya berasal Suriname, menunjukkan sebuah tanda peringatan di sebelah kanan pintu depan kediaman resmi walikota Amsterdam di Herengracht 502. Tanda peringatan itu bertuliskan, "selama ingatan masih hidup, penderitaan tidak akan sia-sia.”

Rumah dinas mewah itu dibangun pada tahun 1672 untuk Paulus Godin, seorang pengelola administratif di West-Indische Compagnie, WIC.

 Herengracht 502, Paulus Godin Sklavenhandel di Amsterdam
Herengracht 502, dengan benderanya tergantung di depan, dibangun dengan kekayaan dari perdagangan budakFoto: Sushmitha Ramakrishnan / Astrid Benölken DW

Selama berabad-abad, Belanda telah memperjualbelikan dan mengirim sekitar 600.000 orang dari Afrika dalam perdagangan budak trans-Atlantik. Sekitar 5% dari jumlah keseluruhan korban perbudakan tersebut di bawa ke koloni-koloni di Karibia seperti Suriname dan Curacao, serta koloni Eropa lainnya di seluruh benua Amerika.

Orang-orang Afrika yang diperbudak juga secara paksa dipindahkan ke koloni Belanda di Samudra Hindia, seperti Indonesia saat ini. Bahkan banyak rakyat Bali atau Jawa yang juga diperbudak dan diangkut kawasan Afrika Selatan saat ini. Tak sedikit dari mereka yang tewas dalam perjalanan.

Bagi para budak yang tidak meninggal dalam perjalanan dan keturunannya, kehidupan sebagai pekerja paksa di perkebunan sangat lah keras dan brutal. Salah satunya, Wally, seorang pria yang diperbudak di perkebunan gula Suriname yang ikut serta dalam pemberontakan pada tahun 1707. Sebagai hukuman atas pembangkangannya, tubuh Wally dicabik-cabik menggunakan penjepit panas dan dia dibakar hidup-hidup. Kepalanya kemudian dipajang di atas pasak. Kisahnya ditampilkan dalam sebuah pameran di Rijksmuseum Amsterdam tahun lalu.

Monumen Perbudakan di Amsterdam, Belanda
Masyarakat menganggap bahwa permohonan maaf pemerintah Belanda sebagai agenda yang terburu-buruFoto: REMKO DE WAAL/ANP/AFP/Getty Images

Mengatasi 'ketidaktahuan yang disengaja'

Jennifer Tosch mendirikan turnya pada tahun 2013 untuk mendobrak apa yang dilihatnya sebagai "ketidaktahuan yang disengaja" dalam masyarakat Belanda atas pandangan mereka terhadap periode perbudakan kelam ini.

Hari Senin (19/12) pemerintah Belanda berencana mengeluarkan permohonan maaf atas peran Kerajaan Belanda dalam perdagangan budak di masa lalu. Namun beberapa organisasi Suriname telah memprotes kurangnya konsultasi dengan masyarakat. Mereka juga menanggap bahwa permohonan maaf tersebut dilakukan terlalu terburu-buru, dan tadinya akan dilakukan secara diam-diam dan mendadak. Tentapi rencana itu dibocorkan media Belanda akhir bulan lalu, tanpa konfirmasi resmi tentang bentuk maupun isinya.

Anggota parlemen kulit hitam keturunan Suriname, Menteri Perlindungan Hukum Franc Weerwind, sempat direncanakan menjadi salah satu dari perwakilan pemerintah yang menyampaikan permohonan maaf tersebut.

Tuntutan reparasi: Dibutuhkan miliaran, bukan jutaan

Armand Zunder, ketua Komisi Perbaikan Nasional Suriname, telah mengindikasikan bahwa permohonan maaf maupun rencana dana €200 juta  yang didedikasikan untuk meningkatkan kesadaran tentang sejarah perbudakan, serta annggaran tambahan €27 juta  untuk pembangunan museum, masih jauh dari cukup.

"Apa yang telah dihancurkan, harus diperbaiki. Kerangka acuan kami adalah miliaran euro, bukan hanya ratusan juta euro," kata Zunder kepada media lokal.

Ada banyak masalah aktual yang masih harus diatasi, ungkap juru bicara Xavier Donker. "Rasisme itu, baik terang-terangan maupun secara halus, termasuk pengangguran yang tidak proporsional, diskriminasi.." dan semua bagian yang dia sebut sebagai "warisan yang masih ada" dari era kolonial.

Sebelumnya, Perdana Menteri Mark Rutte sempat menentang gagasan permohonan maaf tersebut, dengan mengatakan pada tahun 2020 lalu bahwa hal itu berisiko menyebabkan polarisasi masyarakat. Sebuah survei awal tahun ini oleh lembaga penyiaran NOS juga menunjukkan bahwa kurang lebih setengah dari rakyat Belanda menentang permintaan maaf tersebut.

Jennifer Tosch Petrus Tosch di Amsterdam
Meskipun ada perubahan sosial yang positif dalam beberapa tahun terakhir, bagi Jennifer Tosch, perjalanan masih panjangFoto: Ella Joyner/DW

Permintaan maaf dan soal reparasi

Selama abad ke-17, Belanda menjadi salah satu negara terdepan dalam penelitian dan masalah budaya, dengan seniman-seniman terkenal seperti Rembrandt dan Vermeer. Namun masa kejayaan itu juga adalah masa-masa "perang yang dilancarkan terhadap penduduk lokal, eksploitasi sumber daya mereka, dan perbudakan rakyatnya," kata Jennifer Tosch.

Profesor sejarah ekonomi dan sosial Vrije Universiteit Amsterdam, Pepijn Brandon, percaya bahwa era tersebut merupakan era kemakmuran Belanda. Pada akhir abad ke-18, sekitar 5% dari perekonomian Belanda bergantung pada perbudakan modern, katanya kepada DW.

Ada "begitu banyak ketidakadilan sosial, ketidaksetaraan, kesenjangan dalam pendidikan dan produksi kekayaan, dalam bahasa," kata Jennifer Tosch. "Jika kita hanya berhenti di situ (permohonan maaf), dan tidak ada tindakan nyata setelah permohonan maaf ini, maka hal itu akan tampak seperti tanda atau isyarat yang tidak benar-benar dimaksudkan untuk menghasilkan perubahan sosial apa pun." (kp/hp)