1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Nasib Gajah Sumatera di Bengkulu: Diburu dan Dianggap Hama

Betty Herlina (Bengkulu)
11 Maret 2022

Stigma gajah sebagai hama masih mendominasi penyebab kematian hewan ini. Sebagian masyarakat membunuh gajah yang masuk ke pemukiman penduduk karena dianggap merusak kebun.

https://p.dw.com/p/48IhE
Ilustrasi gajah sumatera
Ilustrasi gajah sumateraFoto: Marini Sipayung

Keberadaan gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) di Bengkulu kian terancam. Mengutip data dari Konsorsium Bentang Alam Seblat Bengkulu, saat ini populasi gajah liar yang ada di wilayah Seblat hanya tinggal 50 ekor. Jumlah ini pun terus menyusut setiap tahun.

Anggota Konsorsium Bentang Alam Seblat, Ali Akbar, mengatakan di tahun 1990-an populasi gajah sempat berkisar antara 100 hingga 150 hingga ekor. Dalam satu dasawarsa terakhir angka kematian gajah yang tercatat mencapai 16 ekor. Sementara kurun waktu tahun 2018 hingga 2021, kembali ditemukan tiga ekor gajah mati.

"Jumlahnya terus berkurang. Mayoritas kematian tidak alami bukan karena sakit, sebaliknya diracun, ditembak atau diburu untuk diambil gadingnya. Kondisi ini diperparah dengan habitatnya yang terdesak akibat pembukaan lahan untuk perkebunan dan perambahan kayu," kata Ali pada DW Indonesia.

Gajah di Indonesia tersebar di 23 habitat yang ada di delapan provinsi yakni Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung dan Kalimantan Utara. Jumlah gajah di keseluruhan habitat gajah di Indonesia, diperkirakan berada di antara 1.087 - 1.606 ekor berdasarkan kompilasi data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) pada tahun 2019.

"Kami tidak punya data yang komprehensif, tetapi penurunan cepat terjadi di beberapa kantong utama di Sumatera seperti Riau, Jambi, Bengkulu dan Aceh," ujar Donny Gunaryadi dari FKGI. Ia menambahkan bahwa pada era tahun 1980-an populasi gajah sumatera di Indonesia diperkirakan sekitar 2.800 hingga 4.800 ekor.

Gajah sumatera ditetapkan sebagai satwa prioritas sesuai dengan SK Direktur Jenderal KSDAE nomor 180/IV-KKH/2015 tentang Penetapan 25 Satwa Terancam Punah Prioritas untuk Ditingkatkan Populasinya Sebesar 10% pada Tahun 2015-2019.

Dianggap musuh dan hama

Stigma gajah sebagai hama masih mendominasi penyebab kematian gajah. Sebagian masyarakat memilih untuk membunuh gajah yang masuk ke pemukiman penduduk dan karena dianggap telahmerusak kebun. Hal ini diungkapkan Anang Widiatmoko warga Desa Sukabaru Kecamatan Marga Sakti Seblat.

"Biasanya di bulan tertentu gajah bergerak masuk ke desa. Ini pernah terjadi di Air Rami dan Teramang Jaya. Saat itu masyarakat akan mengusir gajah kadang dengan api, atau bunyi-bunyian, karena gajah dianggap musuh, hama," ujar Anang.

Donny Gunaryadi dari FKGI mengatakan bahwa sejak tahun 2011 masyarakat telah diinformasikan tidak boleh membunuh gajah. Jika gajah masuk ke desa, mereka harus berusaha menggiring gajah kembali masuk ke habitatnya. "Biasanya panggil petugas yang piket untuk turun membantu," katanya. 

Perburuan memang masih menjadi ancaman terbesar gajah menyusul pembunuhan gajah akibat konflik lahan dan jerat-jerat yang mematikan pada gajah di populasi yang terisolasi.

"Padahal gajah sebagai the garderner of the forest, pastinya memegang peranan yang penting di alam dalam bagian restorasi hutan," kata Donny kepada DW Indonesia.

Hal lain yang juga berpotensi memperburuk keberlanjutan keadaan gajah adalah perkawinan sesama anggota kawanan. Gajah diketahui hidup berkelompok dengan kawanan kecil, ini akan berdampak pada perkawinan gajah yang dekat pertalian darahnya. Kondisi ini memicu turunnya fungsi genetik gajah yang kemudian bermuara pada cepatnya laju kepunahan gajah di Bengkulu.

"Biasanya gajah ini bisa bergerak sampai ke Jambi lalu pulang lagi ke Bengkulu, namun ini karena koridornya terbatas gajah ini tidak bisa bergerak ke mana-mana," ujar Ali Akbar dari Konsorsium Bentang Alam Seblat.

Perlu ubah status lahan?

Ali Akbar mengatakan perubahan status Bentangan Alam Seblat dari Hutan Produksi Terbatas (HPT) menjadi suaka margasatwa dapat menjadi solusi untuk menyelamatkan populasi gajah sekaligus memperpanjang daur hidup satwa endemik Pulau Sumatera tersebut.

Saat ini, meskipun HPT tersebut dimiliki sejumlah korporasi yang idealnya bertanggung jawab atas keberadaan habitat gajah yang ada, pada praktiknya pengawasan tentang ini nyaris tidak ada. Peralihan status lahan menjadi suaka margasatwa dinilai dapat lebih melindungi populasi gajah karena lahan akan lebih terawasi.

Saat ini lokasi Bentangan Alam Seblat mencapai 80.987 hektare yang melingkupi kawasan hutan Taman Nasional Kerinci Seblat seluas 17.500 hektare, Hutan Produksi Terbatas Air Ipuh I seluas 19.659 hektare, Hutan Produksi Terbatas Ipuh II 6.500, Hutan Produksi Terbatas Lebong Kandis seluas 12.000, Hutan Produksi Tetap Air Rami 14.010 hektare, Hutan Produksi Tetap Air Teramang 4.818 hektare dan Areal Peruntukan Lain seluas 6.500 hektare. 

"Praktiknya, walaupun masuk HPT pembalakan kawasan masih terus terjadi. Aktivitas pencurian kayu juga selalu ditemukan setiap kali konsorsium melakukan pemantauan. Akibatnya habitat gajah semakin berkurang. Sementara gajah itu 'kan terus bergerak, tidak bisa diam di satu tempat yang sama. Ini rentan menimbulkan konflik dengan masyarakat jika gajah sampai masuk ke pemukinan desa," paparnya.

Pemerintah Provinsi Bengkulu sejak tahun 2018 sudah menetapkan Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) Koridor Gajah Sumatera seluas 29 ribu hektare yang meliputi Hutan Produksi (HP) Air Rami, Hutan Produksi Terbatas (HPT) Lebong Kandis, Taman Wisata Alam (TWA) Seblat, Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan sebagian konsesi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu [IUPHHK] dan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit. 

"Kondisinya jalur KKE yang sudah ditetapkan pemerintah menjadi jalur gajah nyatanya malah rentan dengan beragam ancaman. Di lokasi itu masih terjadi perambahan, pembalakan termasuk pembukaan lahan untuk sawit skala besar. Ketika ini terjadi, ruang gerak koridor gajah menjadi terjepit, ruangnya semakin sempit, akibatnya gajah semakin terancam punah," papar Ali.

Serupa disampaikan Kepala BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) Bengkulu, Donald Hutasoit. Ia mengatakan perubahan status Bentangan Alam Seblat menjadi suaka margasatwa menjadi solusi untuk menyelamatkan populasi gajah yang tersisa. Menurutnya, status habitat gajah yang saat ini masih tumpang tindih membuat BKSDA kewalahan untuk menjaga kawasan tersebut.

"Kalau suaka margasatwa, statusnya akan menjadi lebih kuat. Saat ini kita masih bisa melakukan patroli, tapi kita tidak bisa berbuat banyak, karena itukan bukan wilayah kuasa kita. Walaupun sudah ditetapkan koridor tapi tidak semua orang mengerti, masyarakat masih perlu diedukasi tentang gajah," ujar Donald.

Bentangan Alam Seblat memiliki luasan 323 ribu hektare, mulai dari Sungai Ketahun sampai ke Air Manjuto. Secara administrasi Bentangan Alam Seblat berada di dua kabupaten yaitu Bengkulu Utara dan Mukomuko. Riset analisis tutupan hutan yang dilakukan Konsorsium Bentang Alam Seblat menemukan seluas 39.812,34 hektare atau 49% telah menjadi hutan lahan kering sekunder, dan seluas 23.740,06 hektare atau sekitar 29% beralih fungsi menjadi lahan bukan hutan. (ae)