1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Raksasa Bir Eropa Lawan Pajak Alkohol di Vietnam

David Hutt
24 Maret 2023

Sektor minuman beralkohol Eropa melobby cegah kemungkinan kenaikan pajak di Vietnam, sementara pemerintah tidak mau mendengarkan. Namun, seberapa besar ongkosnya untuk kesehatan masyarakat?

https://p.dw.com/p/4P9uZ
Botol bir dan kaleng Heineken di Kota Ho Chi Minh, Vietnam
Pemerintah Vietnam berniat untuk menaikkan pajak khusus minuman beralkoholFoto: Pascal Deloche/Godong/picture alliance

Pemerintah Vietnam Sejak tahun 2022 lalu, sudah memperdebatkan perlunya menaikkan pajak konsumsi khusus yang berlaku untuk produk-produk berisiko seperti alkohol, rokok, dan minuman bersoda.

Beberapa pihak berpendapat, opsi tersebut memiliki dua keuntungan sekaligus. Pertama, hal tersebut dapat meningkatkan pendapatan negara. Kedua, jika produk beralkohol menjadi lebih mahal, itu akan berdampak pada kurangnya konsumsi masyarakat yang memiliki masalah dengan kecanduan alkohol.

Utang negara Vietnam menurut catatan resmi, mengalami penurunan pada kisaran 44% dari PDB pada tahun lalu, tetapi pemerintah perlu melakukan kalibrasi ulang praktik pengumpulan pemasukan negara.

Perjanjian perdagangan bebas memangkas tarif, dan pemerintah Vietnam berada di bawah tekanan lebih besar untuk berinvestasi di dalam negeri sendiri. Akibatnya, Hanoi tahu mereka lebih bergantung dari sebelumnya pada sumber-sumber pendapatan domestik.

Dalam dua bulan pertama di tahun 2023, pendapatan negara dari kegiatan ekspor-impor menurun hingga 19,4%, dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2022 lalu, demikian laporan Departemen Umum Bea Cukai Vietnam.

Sedangkan pendapatan pajak untuk negara secara keseluruhan naik 16,7%, dengan perpajakan domestik menyumbang 96% dari total pendapatan negara secara keseluruhan, menurut laporan media yang mengutip Departemen Umum Perpajakan.

Pada tahun 2019, konsumsi bir rata-rata per orang di Vietnam adalah 47,6 liter, angka tertinggi ketiga di Asia setelah Cina dan Jepang. Sebuah studi yang diterbitkan pada tahun 2019 di jurnal medis Lancet juga memperhitungkan konsumsi minuman keras per kapita di Vietnam meningkat menjadi 90% antara tahun 2010 hingga 2017, jumlah tersebut masuk peringkat kelima tertinggi di dunia. Dan diperkirakan, angka itu akan terus meningkat dalam dekade ini.

Bir menjadi sangat populer, tapi apa dampaknya bagi kesehatan?

Kabar baik bagi dunia bisnis! Sektor minuman bir di Vietnam kini diperkirakan bernilai hingga US$26 miliar (setara dengan Rp394 triliun) pada tahun 2021, menjadikannya sektor tertinggi di Asia Tenggara, menurut laporan terbaru dari Nikkei Asia.

Namun, sebuah studi pada tahun 2016 juga memperkirakan sekitar 12% dari angka kematian di Vietnam ada keterkaitannya dengan konsumsi alkohol. Sementara, seperlimanya diakibatkan oleh kecelakaan di jalan raya yang disebabkan oleh konsumsi minuman beralkohol.

Pada tahun 2020 lalu, undang-undang pengendalian alkohol baru mulai berlaku. Pembaruan itu mencakup pembatasan iklan dan penjualan minuman beralkohol kepada anak di bawah umur, serta pelarangan mengemudi dengan jumlah konsentrasi alkohol sebesar apa pun di dalam darah.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dalam sebuah perdebatan mengenai undang-undang tersebut, "industri alkohol … berupaya keras untuk membatalkan atau melemahkan undang-undang tersebut."

Kementerian Keuangan Vietnam pada bulan Februari lalu mengatakan, pihaknya mendengarkan semua pendapat tentang revisi Undang-Undang Pajak Konsumsi Khusus. Sekali lagi, industri alkohol menganggap bahwa pajak yang lebih tinggi bukanlah solusi yang tepat.

"Sejak tahun 2003, Undang-Undang tentang Pajak Konsumsi Khusus itu telah diamandemen sebanyak lima kali dan setiap perubahan telah "mengacaukan" lingkungan hukum, kelembagaan, hingga sektor bisnis itu sendiri, ujar Chu Thi Van Anh", Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Minuman Vietnam.

Selain itu, Van Anh juga mengklaim, peningkatan pajak tersebut sejauh ini belum mencapai targetnya untuk mengurangi konsumsi dan melindungi kesehatan masyarakat. "Salah satu masalah utamanya adalah pajak konsumsi khusus itu tidak berdampak pada produksi alkohol ilegal,  yang pangsa pasarnya sekitar 60% hingga 70%", ujar Van Anh lebih lanjut.

Van Anh memperkirakan, sektor ilegal itu telah merugikan sektor bisnis legal sebanyak US$750 juta (setara dengan Rp11,3 triliun) setiap tahunnya. Kegiatan ilegal itu juga tidak hanya merugikan keuntungan mereka sendiri, tetapi juga pundi-pundi pendapatan negara.

Simbolik pabrik Heineken
Produsen raksasa bir asal Eropa, Heineken justru berencana untuk menambah nilai investasi mereka di VietnamFoto: AMANDA PEROBELLI/REUTERS

Perusahaan raksasa bir Heineken yang berbasis di Belanda adalah salah satu pemain terbesar di pasar Vietnam, yang didominasi oleh merek-merek Thailand dan Jepang, serta bir lokal Vietnam sendiri.

Kepala komunikasi Heineken Vietnam menolak berkomentar, karena menurut perusahaan tersebut, Asosiasi Minuman Vietnam telah memimpin diskusi dan juga melibatkan pihak media, sebagai perwakilan semua bisnis di industri minuman beralkohol di Vietnam.

Namun Heineken juga telah melakukan upaya lobi mereka sendiri. Selama kunjungan resmi Perdana Menteri (PM) Vietnam Pham Minh Chinh ke Belanda pada bulan Desember lalu, pihaknya telah bertemu dengan CEO Heineken Dolf van den Brink, di kantor pusat perusahaan global tersebut di Amsterdam.

Dalam kesempatan itu, produsen bir raksasa di Eropa tersebut turut mengumumkan rencana mereka untuk menambah nilai investasi sebanyak US$500 juta (setara dengan Rp7,5 triliun) di Vietnam, dengan total investasi saat ini di atas lebih dari US$1 miliar (setara dengan Rp15 triliun).

Setelah bertemu dengan CEO Heineken, PM Chinh juga mengatakan, Hanoi ingin memperbaiki kebijakan pajaknya untuk menciptakan "manfaat yang lebih harmonis, risiko yang ditanggung bersama", menurut pernyataan pemerintah Vietnam.

September lalu, Heineken Vietnam juga meresmikan pabrik produksi bir terbesarnya di Vietnam. Acara tersebut juga dihadiri oleh Wakil Perdana Menteri Vu Duc Dam. Namun, perusahaan Heineken Vietnam justru diperintahkan untuk membayar pajak dan denda sebesar US$39,7 juta (setara dengan Rp602 miliar) pada tahun 2020.

Belanda sekarang merupakan investor Uni Eropa terbesar di Vietnam, dengan modal yang terdaftar berkisar US$13,7 miliar (setara dengan Rp207 triliun), menurut data pemerintah. Direktur De Heus Asia Gabor Fluit, yang merupakan bagian dari konglomerat pakan ternak Belanda, telah terpilih sebagai ketua Kamar Dagang Eropa di Vietnam bulan ini.

Raksasa alkohol semakin merajalela

Para pelobi minuman beralkohol berpendapat, setiap kenaikan pajak khusus itu akan berdampak negatif pada situasi pasar, terutama jika kebijakan itu berdampingan dengan upaya pemulihan pasar dari dampak pandemi.

Jika perusahaan minuan beralkohol membebankan biaya tambahan itu kepada konsumen, hal tersebut juga akan berdampak pada sektor perhotelan dan pariwisata, yang baru-baru ini  menunjukkan tanda-tanda pemulihan setelah hancur diterjang badai pandemi.

Asosiasi Minuman Vietnam justru meminta pemerintah untuk menunda kenaikan pajak konsumsi khusus tersebut setidaknya hingga tahun 2024, dan bahkan asosiasi tersebut akan lebih berusaha untuk melobi angka kenaikan tarif yang relatif sedikit.

Sekjen asosiasi industri minuman Vietnam, Van Anh juga menunjukkan,  biaya produksi minuman beralkohol telah meningkat secara besar-besaran akibat dampak dari perang di Ukraina, karena Ukraina dan Rusia merupakan dua pengekspor biji-bijian terbesar di dunia. Selain itu, inflasi global juga telah merugikan industri ini.

Banyak hal bergantung pada seberapa besar tarif pajak yang akan dinaikkan. "Pajak konsumsi khusus untuk alkohol, terakhir kali naik dari 50% menjadi 65% pada tahun 2018, namun tampaknya kenaikan itu juga tidak terlalu berdampak banyak", ujar Pritesh Samuel dan Thang Vu dari perusahaan konsultan Dezan Shira & Associates.

"Meskipun kenaikan pajak tahun 2018 mungkin telah mengakibatkan gangguan jangka pendek, industri alkohol Vietnam tetap hidup," kata perusahaan itu. "Harga tembakau dan alkohol di Vietnam tetap menjadi salah satu yang terendah di dunia. Oleh karena itu, kita harus menunggu dan melihat seberapa besar kenaikan yang akan diterapkan oleh pemerintah", papar konsultan itu.

Beberapa ahli kesehatan mengatakan, hanya peningkatan pajak khusus dalam jumlah besar yang akan berdampak paling burukpada biaya kesehatan yang terkait dengan konsumsi alkohol.

WHO memperkirakan, pajak khusus minuman beralkohol itu hanya menyumbang sekitar sepertiga dari harga eceran produk beralkohol di Vietnam, sedangkan di banyak negara lain biasanya lebih dari setengahnya, atau bahkan mencapai 85%.

Persoalan ini membuat pusing pemerintah Vietnam, yang menganggap bahwa kemajuan dan keadilan sosial tidak boleh dikorbankan demi "pertumbuhan ekonomi jangka pendek", seperti yang dikatakan PM Chinh minggu ini, dalam menyambut delegasi bisnis Amerika Serikat (AS) di Hanoi. (kp/)