1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Persamaan HakGlobal

Riset: Kesenjangan Upah Gender Tidak Membaik

Arthur Sullivan
16 Desember 2022

Sebuah penelitian di 15 negara memastikan kesenjangan pendapatan antara laki-laki dan perempuan belum banyak mengalami perbaikan. Hasil studi sekaligus membantah anggapan bahwa kesenjangan dipicu pilihan profesi

https://p.dw.com/p/4KzLe
Ilustrasi kesenjangan upah gender
Ilustrasi kesenjangan upah genderFoto: Joe Giddens/PA/picture-alliance

Kesenjangan upah gender masih mendominasi kultur korporasi, bahkan jika perempuan dan laki-laki mengemban fungsi yang sama. Kesimpulan itu dibuat sebuah studi yang dipublikasikan baru-baru ini di jurnal ilmiah, Nature Human Behaviour.

Ketimpangan pendapatan dihitung dari perbedaan rata-rata gaji kotor perempuan dan laki-laki. "Kita harus memastikan terwujudnya kebijakan politik yang mewajibkan kesetaraan upah,” kata Halil Sabanci, salah seorang penulis riset.

Bersama tim peneliti internasional, dia mengumpulkan data dari 15 negara, termasuk Jerman, Amerika Serikat, Kanada, Slovenia, Jepang, Korea Selatan dan Israel. Hasilnya adalah kumpulan data tentang kesenjangan upah terlengkap dalam sejarah ilmu pengetahuan.

Salah satu kesimpulannya membantah persepsi umum, bahwa kesenjangan upah gender didorong "seleksi alami” antara perempuan dan laki-laki dalam memilih profesi, bidang usaha atau perusahaan. 

Charlie Martin: Kesetaraan Gender dan Olahraga Otomotif Profesional

Kesenjangan upah di dalam profesi

Anggapan itu menilai laki-laki cendrung bekerja di posisi yang tinggi dan sebabnya berpenghasilan tinggi pula, "seperti bahwa laki-laki menjadi dokter dan perempuan menjadi perawat,” kata Sabanci.

Di ke15 negara, peneliti menemukan, perempuan masih mendapat bayaran yang lebih rendah ketimbang laki-laki meski bekerja di posisi dan perusahaan yang sama. Fenomena ketimpangan pendapatan antargender di dalam korporasi ini tercatat mewakili separuh dari kasus kesenjangan upah secara umum.

"Riset sebelumnya mengindikasikan bahwa angka kesenjangan upah akan menyusut jika mempertimbangkan tinggi jabatan dan perusahaan,” kata Sabanci. "Tapi studi itu dibuat pada awal 1990an, dan kami menemukan kesenjangan upah profesi jauh lebih besar ketimbang yang sebelumnya diduga.”

Menurutnya, kecendrungan laki-laki mendapat jabatan tinggi memang turut berperan, tapi bukan penyebab utama melebarnya kesenjangan upah. 

Dia mencontohkan kesenjangan upah di Jerman yang secara umum berkisar 21 persen. Artinya, perempuan rata-rata menghasilkan 79€ dari setiap 100€ yang didapat laki-laki. Untuk posisi dan jabatan yang sama, angka ketimpangan upah berubah menjadi 13 persen.

Mengatasi penalti kehamilan

Para peneliti sebabnya mengimbau agar pemerintah mulai serius mendorong agar perempuan memperoleh kesempatan di posisi berpenghasilan tinggi. 

"Kita harus mendorong kesetaraan upah, serta memastikan keterwakilan perempuan terwakili yang proporsional di pekerjaan berpenghasilan tinggi,” ujar Sabanci.

Menurutnya, salah satu penyebab utama kesenjangan upah profesi adalah "penalti kehamilan” bagi perempuan. Fenomena ini merebak karena perempuan cendrung mengambil cuti kehamilan lebih lama dan sebabnya kesulitan mempertahankan jabatan sekembalinya ke pekerjaan lama. 

Penalti kehamilan tidak hanya memperlambat laju karir perempuan, tetapi juga kenaikan upahnya.

"Dalam hakekatnya, kesenjangan upah gender adalah fenomena yang sederhana,” tambahnya. Tapi "faktor pemicu atau dampaknya, pondasi sosial atau psiokologis kesenjangan upah, semuanya masih sangat rumit,” pungkas Sabanci.

rzn/yf