1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sepak BolaIndonesia

Setahun Tragedi Kanjuruhan: Jawaban Itu Masih Belum Ada

Felix Tamsut | Arti Ekawati
3 Oktober 2023

Masih banyak pertanyaan yang belum terjawab setahun setelah tragedi yang menewaskan 135 orang di Stadion Kanjuruhan, Malang. Keluarga korban terus mencari jawaban dan keadilan.

https://p.dw.com/p/4X4HN
Aksi mengenang dan menuntut keadilan bagi korban Tragedi Kanjuruhan, Malang, digelar di Yogyakarta, 1 Oktober 2023.
Aksi mengenang dan menuntut keadilan bagi korban Tragedi Kanjuruhan, Malang, digelar di Yogyakarta, 1 Oktober 2023.Foto: Angga Budhiyanto/ZUMA Wire/IMAGO

Ratusan orang, termasuk keluarga korban yang menuntut keadilan, berkumpul dalam aksi unjuk rasa di luar Stadion Kanjuruhan di Malang, Indonesia, untuk mengenang 135 korban tewas setelah pertandingan antara Arema FC dan Persebaya Surabaya pada 1 Oktober 2022. Selain mereka, sejumlah massa juga turun ke jalan untuk melakukan aksi unjuk rasa damai, sambil membawa poster bergambar wajah orang-orang terkasih yang tewas dalam tragedi itu.

Pada 1 Oktober 2022, usai pertandingan, sejumlah suporter Arema FC masuk ke dalam lapangan, ini adalah hal yang lumrah terjadi usai pertandingan di daerah tersebut. Bek tengah asal Portugal, Sergio Silva, yang saat itu bermain untuk Arema FC, kepada surat kabar olahraga Portugal A Bola mengatakan, para penggemar tampaknya ingin "menunjukkan dukungan, alih-alih menyerang."

Namun polisi berusaha menghalau mereka dengan gas air mata dan pentungan, sehingga massa kemudian panik dan berhamburan, berusaha melarikan diri. Akibatnya sangat fatal,135 orang tewas dan lebih dari 400 orang terluka akibat terinjak-injak dalam kejadian tersebut. Di antara korban tewas terdapat pula remaja dan anak-anak, salah satunya bocah berusia tiga tahun. 

Keluarga korban Tragedi Kanjuruhan mencari keadilan

Menurut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), penggunaan gas air mata oleh polisi adalah penyebab utama bencana tersebut. Ketua Komnas HAM menyerukan adanya "tanggung jawab hukum". Menurut peraturan yang dikeluarkan organisasi sepak bola dunia, FIFA, senjata api atau gas pengendali massa dilarang digunakan di stadion.

Sumiarsih atau yang sehari-hari biasa dipanggil Bu Cece, telah kehilangan anak lelakinya dalam tragedi tersebut. Ia mengatakan kepada DW Indonesia bahwa banyak keluarga korban hingga kini masih merasa belum mendapatkan keadilan atas meninggal anggota keluarga mereka.

"Sebetulnya kalau untuk keadilan kami belum mendapat keadilan sampai sekarang karena setiap kali sidang atau apa kita ga pernah diberi tahu. Tahu-tahu ada hasilnya gitu aja.... Ga ada transparansi sidang, keluarga korban ga dikasih jadwalnya. Kalaupun kita tidak boleh ke sana tidak apa-apa tapi kita dikasih jadwal, kan ada paguyuban juga, paguyuban keluarga korban. Dikasih tahu saja kita sudah lega, tapi ‘kan nyatanya ngga. Setelahnya kita baru tahu, dari media," ujar Sumiarsih kepada DW Indonesia.

Selain transparansi tentang proses dan jadwal persidangan, ia juga mempertanyakan tentang ganti rugi yang menjadi hak keluarga korban.

Seorang lelaki bersimpuh di Stadion Kanjuruhan, Malang, pada 4 Oktober 2022, beberapa hari setelah tragedi yang menewaskan 135 orang, termasuk anak-anak.
Seorang lelaki bersimpuh di Stadion Kanjuruhan, Malang, pada 4 Oktober 2022, selah beberapa hari setelah tragedi yang menewaskan 135 orang, termasuk anak-anak.Foto: Zabur Karuru/Antara Foto/REUTERS

"Santunan dari presiden, dan lain-lain kita memang dapat. Waktu itu satu, dua harinya banyak yang kasih santunan, tapi untuk yang ganti ruginya belum," ujarnya. Ia merujuk kepada asuransi jiwa yang biasanya diberikan kepada keluarga korban pemilik tiket.

"Transparanlah semuanya, ga seperti kemarin sidang-sidang itu kita ga tau apa-apa, seharusnya kita juga harus mengikuti sidang-sidang itu walaupun kita ga datang tapi kita tahu jadwalnya. Yang kedua masalah ganti rugi, kita sampai bertanya baik ke polda tapi jawabannya kita dipingpong ke mana-mana," ujarnya.

Dua pejabat dan tiga petugas polisi diadili dan dinyatakan bersalah atas tragedi ini, dengan hukuman penjara berkisar antara satu hingga dua setengah tahun. Meski begitu, banyak anggota keluarga korban merasa bahwa tindakan yang diambil oleh pemerintah, polisi, dan pengadilan belum cukup.

Devi Athok kehilangan kedua putrinya yang masih remaja dalam bencana tersebut. Menurutnya, polisi tidak mengatakan hal yang sebenarnya di balik tindakan menembakkan gas air mata tersebut dan mengatakan bahwa hal itu dipucu oleh perkelahian antar penggemar.

"Ini adalah kebohongan publik. Kita dibodohi," kata Devi Athok kepada kantor berita AP.

"Jika ditanya apakah saya sudah ikhlas menerima apa yang terjadi, ya, saya ikhlas menerimanya. Mereka sudah meninggal, mereka tidak akan kembali. Tapi secara hukum, saya mencari keadilan terhadap yang membunuh kedua putri saya."

Banyak pendukung merasa belum cukup banyak hal yang dilakukan sejak bencana itu terjadi. Dalam surat terbukanya, mantan fan kolektif Arema FC, Arek Malang, yang selama ini aktif melakukan pendampingan terhadap keluarga korban tragedi Kanjuruhan mengatakan bahwa masih belum ada "pengadilan yang adil".

"Pejabat kepolisian berpangkat tinggi yang memberi perintah untuk menembakkan gas air mata tetap bebas," tulis kelompok tersebut di platform media sosial X, yang sebelumnya dikenal dengan nama Twitter. Grup tersebut juga menyayangkan bahwa hingga saat ini tidak ada pejabat asosiasi atau liga yang diadili. Kelompok ini juga percaya bahwa Arema FC juga harus dimintai pertanggungjawaban. 

"Kekerasan polisi terhadap penggemar sepak bola harus diakhiri," demikian isi surat terbuka kelompok tersebut.

Kelompok ini juga menyerukan kelompok penggemar dan ultra lainnya dari seluruh dunia untuk meningkatkan kesadaran akan bencana tersebut, dan menunjukkan solidaritas terhadap para korban. Seruan ini mendapat banyak tanggapan, termasuk dari dua kelompok ultra dari Jerman, yakni Commando Cannstatt dari Stuttgart, dan Horda Azzuro dari Carl Zeiss Jena.

Perbandingan situasi pertandingan sepak bola di Jerman

Pertandingan sepak bola di Jerman secara statistik bisa dikatakan aman. Hanya tercatat 1.127 cedera dari hampir 19 juta kunjungan ke stadion pada tahun 2018 dan 2019, musim terakhir menjelang pandemi.

Namun penelitian yang diterbitkan oleh German Research Foundation (DFG) pada bulan Mei, menunjukkan, hampir seperempat dari responden yang ditanya mengatakan, mereka menjadi sasaran kekerasan oleh polisi dalam konteks pertandingan sepak bola.

Berdasarkan pengalaman ini, banyak pendukung di Jerman membentuk kolektif bantuan hukum untuk memberikan bantuan kepada siapa pun yang membutuhkan saat berhadapan dengan hukum, dan mengajukan pengaduan resmi jika terjadi penggunaan kekerasan yang berlebihan oleh polisi.

Di Indonesia, kolektif seperti masih belum ada. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) telah mengecam penggunaan kekerasan yang dilakukan polisi.

Stadion Kanjuruhan akan dirobohkan. Setahun setelah kejadian tersebut, bagi keluarga korban yang berkabung, keadilan rasanya masih sulit didapat.

(ae/as)