1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiPakistan

Surat Kabar di Pakistan Berjuang untuk Bertahan Hidup

Jamila Achakzai
24 November 2022

Pelanggan media cetak dan jumlah pembaca di Paksitan telah turun drastis, karena makin banyak orang mendapatkan informasi dari sumber digital. Apakah surat kabar masih punya masa depan?

https://p.dw.com/p/4JxBA
Penjual koran di Peshawar, Pakistan
Penjual koran di PakistanFoto: Muhammad Sajjad/AP/picture alliance

Mujahid Hussain, penjual koran di Islamabad, mengatakan dia takut kehilangan pekerjaannya di tengah penurunan penjualan surat kabar di Pakistan, di mana orang semakin banyak mendapatkan informasi mereka dari platform media digital dan media sosial.

"Majikan saya sering berbicara tentang penurunan penjualan surat kabar dan kemungkinan penutupan bisnis. Jadi, kalaupun dia tidak menutup toko, pekerjaan saya pasti terancam," kata ayah tiga anak berusia 42 tahun itu kepada DW.

Dia telah mengalami pemotongan gaji besar-besaran selama tiga tahun terakhir dan keluarganya sedang berjuang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Banyak penjual koran yang bernasib serupa.

Hingga satu dekade lalu, industri surat kabar di Pakistan masih tumbuh subur. Koran harian, mingguan, dan majalah dulu merupakan suatu keharusan di kantor-kantor, di ruang tamu, dan di kafe. Namun, memang publikasi cetak pernah mengalami tantangan, ketika lusinan saluran berita TV swasta diluncurkan selama kepresidenan Jenderal Pervez Musharraf antara 2001 dan 2008.

Namun, setelah itu muncullah smartphone yang harganya makin murah, aplikasi media sosial, dan konektivitas internet yang makin luas. Perkembangan itu membuat angka penjualan surat kabar makin turun, karena semakin banyak orang mengonsumsi berita di platform online.

Penjaja koran di Pakistan
Penjaja koran di PakistanFoto: DW

Pukulan bagi para penjaja koran

Kemerosotan industri surat kabar sangat memengaruhi para pedagang asongan, yang sebagian besar bekerja paruh waktu dengan upah yang tidak seberapa. Untuk memenuhi kebutuhan harian, mereka mengambil pekerjaan informal lainnya.

"Pemerintah lama tidak memperhatikan kesejahteraan penjaja koran. Mereka terpaksa selalu mencari opsi yang lebih baik untuk menghasilkan uang," kata Aqeel Abbasi, Sekretaris Jenderal Persatuan Penjaja Surat Kabar.

Dia menjelaskan bahwa sebelum pemerintahan Musharraf meliberalisasi media penyiaran dan sektor telekomunikasi, di kota Rawalpindi ada sekitar 1.600 penjaja koran, di Islamabad sekitar 700. Namun, dengan anjloknya penjualan, jumlah penjaja turun drastis, apalagi ketika ada pandemi COVID-19.

Masalah utama industri surat kabar adalah ketergantungan mereka pada iklan pemerintah. Sehingga media yang kritis terhadap kebijakan pemerintah atau terhadap militer, dalam beberapa tahun terakhir mengalami kesulitan menghasilkan pendapatan iklan yang cukup.

Salim Bokhari, yang pernah memimpin surat kabar terkemuka berbahasa Inggris The News and The Nation yang saat ini mengepalai tim media digital di jaringan siaran City News, mengatakan bahwa "tidak ada lagi yang mau menghabiskan waktu membaca kolom surat kabar" mengingat "lautan informasi yang tersedia di ponsel."

Dia mengatakan, koran mungkin saja akan hilang jika tren ini berlanjut, meskipun dia tidak percaya ini akan terjadi dalam waktu dekat. "Era media elektronik pada akhirnya akan membuat susah industri koran. Para pengiklan mengalihkan uang mereka ke saluran TV, bahkan pemerintah lebih memilih media elektronik untuk beriklan," jelasnya.

Sebagian orang tetap lebih suka media cetak daripada media digital

Pengamat dan pengembang media Hassan Gillani lebih optimis. "Pembaca surat kabar mungkin telah menurun setelah kemunculan dan perkembangan media elektronik, tetapi tidak adil untuk menyatakan bahwa media cetak akan segera menjadi bagian dari masa lalu," katanya.

"Meskipun media digital telah membahayakan bisnis surat kabar kecil, surat kabar besar dan kredibel tetap akan bertahan, karena orang lebih memercayai pendapat dan penilaian editorial mereka, dan akan membutuhkan mereka untuk analisis masalah yang mendalam dan berwawasan," jelasnya.

Hassan Gilani juga menekankan pentingnya perusahaan media memperhatikan kesejahteraan ekonomi pekerjanya, dan menuntut pemerintah turut melindungi hak dan kepentingan pekerja media cetak.

Meskipun penjualan koran anjlok, sebagian pembaca mengatakan mereka tetap masih lebih suka media cetak daripada TV atau media sosial. "Saya tumbuh dengan membaca koran dan masih memulai hari dengan membaca koran saat sarapan," kata Musa Khan, pensiunan birokrat yang sudah berusia 70-an.

Dia mengatakan, dia juga menggunakan media elektronik dan media sosial untuk mengikuti perkembangan nasional dan global, tetapi membaca di tablet atau ponsel tidak memberinya kepuasan yang sama seperti membaca koran.

(hp/yf)