1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

KTT Iklim di Durban Hanya Kegagalan Kolektif

15 Desember 2011

KTT Iklim di Durban, Afrika Selatan, beda pendapat PM Inggris di KTT Uni Eropa, dan aksi protes di Rusia menjadi tema-tema yang diangkat dalam pers internasional.

https://p.dw.com/p/13TUY
Pengayuh sepeda menyalakan pohon lampu sebagai penanda akhir KTT Iklim di Durban, Afrika Selatan. (Foto: dpa)
Pengayuh sepeda menyalakan pohon lampu sebagai penanda akhir KTT Iklim di Durban, Afrika Selatan.Foto: picture-alliance/dpa

Sejumlah peristiwa penting dunia diamati oleh beberapa media Eropa. Salah satunya adalah Konferensi Tingkat Tinggi Iklim di Durban, Afrika Selatan, yang digelar awal Desember.

Harian Inggris The Guardian mengomentari hasil KTT Iklim tersebut. Koran berhaluan kiri liberal itu menulis:

"Tampaknya hampir seperti tidak ada yang disepakati, juga untuk berusaha menyepakati sesuatu, hasilnya kini rencana untuk suatu rencana. Konflik kepentingan antar negara maju dan berkembang dalam perjuangan melawan perubahan iklim terus berlanjut. Protokol Kyoto sebelumnya benar-benar menaruh beban di negara maju. Sejak itu negara maju berusaha memperoleh perjanjian baru, yang mencerminkan pertumbuhan pesat negara ambang industri, yang bertanggung jawab menyumbangkan lebih dari setengah emisi gas CO2. Keputusan di Durban kenyataannya lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Karena tidak ada sama sekali berarti malapetaka."

Harian Perancis Ouest-France mengomentari hasil KTT Iklim di Afrika Selatan. Surat kabar yang terbit di Rennes, Bretagne, itu menulis:

"Protokol Kyoto terselamatkan, tapi dengan kerusakan kolateral. Rusia, Kanada, dan Jepang meninggalkan kapal bersama dan ingin menunggu waktu yang lebih baik. Hanya 33 persen negara-negara penanda tangan perjanjian ini penghasil terbesar gas emisi perusak iklim. Mereka sendirian tidak akan mampu menyelamatkan bumi dari perubahan iklim. Para pesimis memandang hasil di konferensi Durban tidak lain sebagai kegagalan kolektif baru. Mereka marah, karena pelaksanaan kewajiban-kewajiban selalu ditunda."

Sementara itu beberapa media menyoroti politik Eropa Inggris. Harian Spanyol berhaluan kiri liberal El Pais menulis:

"Tidak mungkin koalisi Inggris antara kubu konservatif dan liberal terpecah akibat sengketa tentang sikap Perdana Menteri David Cameron dalam KTT Uni Eropa lalu. Hubungan antara London dan Brussel selalu diwarnai kecurigaan. Tetapi Cameron membuktikan diri tidak kompeten dalam perundingan. Veto hanya masuk akal jika itu mencegah keputusan tertentu. Tapi bukan yang sekarang. Uni Eropa akan melaksanakan keputusan tanpa Inggris, meskipun hasil pembicaraan jauh dari apa yang dibayangkan Merkel dan Sarkozy."

Harian Jerman Frankfurter Allgemeine Zeitung meneliti reaksi terhadap sikap menentang Perdana Menteri David Cameron saat KTT Uni Eropa:

"Tidak diragukan pemerintah Jerman kaget dan terganggu oleh gema negatif, dan tidak hanya di benua Eropa, tapi juga dalam perekonomian dalam negeri. Tidak diragukan politisi konservatif Cameron tahu, menyampingkan sikapnya itu, bahwa Inggris sebagai bagian Uni Eropa sangat erat hubungannya dengan negara anggota lain, dan sikap jalan sendirian berujung pada jalan buntu. Inggris memerlukan Eropa, sebagaimana Eropa memerlukan Inggris. Ini berlaku paling tidak pada Jerman yang punya politik ekonomi luar negeri terbuka. Kanselir Merkel telah mengatakan hal penting dan tepat. Jika pengganggu mengantarkan London ke pintu keluar dari Parlemen Eropa, maka terungkap dogmatisme mentalitas yang makin menguatkan mereka yang skeptis terhadap mata uang Euro. Apa itu disengaja?"

Peristiwa lain yang disoroti media Eropa adalah aksi protes di Rusia. Harian Perancis Le Monde yang terbit di Paris menulis:

"Kalangan menengah Rusia turun ke jalan. Mereka muak terhadap korupsi, penipuan, dan gaya otokratis penguasa. Kemarahan hari ini bukan berasal dari massa rakyat, melainkan dari kalangan berpendidikan, yang memiliki akses ke internet dan jejaring sosial. Mereka adalah para karyawan sektor swasta dan cendekiawan yang selama ini lebih tertarik pada kenyamanan kehidupan akademik dan bepergian ke luar negeri daripada demonstrasi. Agar tetap berada di tampuk kekuasaan, pemimpin pemerintahan dan mantan presiden Putin tentu mengandalkan popularitasnya dan keamanan ekonomi dari minyak bumi. Tapi korupsi, ketidakmampuan dan kefrustrasian rakyat menggoyahkan pondasinya."

Harian Swiss Neue Zürcher Zeitung juga menyoroti aksi protes di Rusia menentang manipulasi pemilu. Harian terbitan Jenewa itu menulis:

"Hampir tidak dipercaya penduduk Rusia memberontak dari kekuasaan otoriter Vladimir Putin dan Dmitry Medvedev. Tentu protes menentang manipulasi pemilu hari Minggu lalu adalah yang terbesar di Rusia sejak runtuhnya Uni Soviet. Tidak hanya di Moskow, puluhan ribu orang di puluhan kota lain turun ke jalan. Sebagian besar para demonstran adalah rakyat biasa dan generasi muda, selain kritikus pemerintah yang terkenal. Banyak warga Rusia tidak mau lagi menerima begitu saja demokrasi terkendali dan pertukaran jabatan antara Putin dan Medvedev. Mereka lelah tidak berperan di negaranya sendiri. Ini merupakan isyarat mendorong dan membuka harapan di Rusia."

dpa/afp/rtr/LS/YF