1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Monarki Thailand Halangi Demokrasi

Rodion Ebbighausen29 Januari 2013

Kerajaan Thailand tidak boleh dikritik. Peraturan kaku membatasi kebebasan berpendapat. Tapi bukan hanya peraturan, monarki secara keseluruhan membahayakan demokrasi.

https://p.dw.com/p/17Tay
Foto: Reuters

23 Januari 2013, jurnalis dan aktivis Thailand Somyot Pruksakasemsuk dijatuhkan vonis hukuman penjara 11 tahun. Para hakim menganggapnya bersalah telah mempublikasikan dua laporan di harian "Voice of Thaksin" tahun 2009 lalu yang menentang hukum "Lèse-Majesté".

Di Thailand, hukum tersebut melarang pengungkapan pendapat yang kritis terhadap raja, keluarga atau monarki. Organisasi HAM sejak lama menentang hukum tersebut. Sejak diberlakukan tahun 1908, peraturan ini kerap diberlakukan untuk menutup mulut lawan politik. "Pengadilan semakin menjadi pelindung utama monarki. Ini harga kebebasan berpendapat", kata Brad Adams, direktur Asia Human Rights Watch.

Faktor Kekuasaan Tersembunyi

Sejak 1932, Thailand resmi jadi monarki konstitusional. Artinya, kekuasaan raja dibatasi oleh kontitusi. Namun, di Thailand keterbatasan ini sangat tidak transparan, jelas Jost Pachaly dari Yayasan Heinrich Böll di Bangkok. "Monarki memainkan peran penting di belakang layar. Tapi sulit untuk memprediksinya, karena tidak ada laporan jelas dan tidak ada yang benar-benar tahu akan apa yang terjadi."

Thailand Aktivist Somyot Pruksakasemsuk vor Gericht
Aktivis Thailand Somyot Pruksakasemsuk di pengadilanFoto: AP

Batas kekuasaan yang tidak jelas berperan besar dalam ketidakstabilan dalam kepemimpinan di negara ini. Pakar politik dan Asia Marco Bünte menggambarkan sejarah Thailand sebagai "lingkaran setan dari kudeta militer, konstitusi, krisis dan kudeta militer terbaru." Campur tangan monarki dalam hal ini cukup besar.

Kekuasaan Monarki

Saat raja menduduki tahta tahun 1946, monarki sebenarnya sudah di ambang kehancuran. Demikian menurut penulis biografi raja Bhumibol "The King Never Smiles" Paul M. Handley. Tahun berikutnya, raja dan anggota monarki berhasil memperkuat posisi mereka. "Keberhasilan Bhumibol meraih kembali kekuasaan dan kehormatan monarki bukan sebuah kebetulan, melainkan upaya kerja keras pangeran yang keras kepala", tutur Handley.

Monarki memperbaiki nama dan integritas moral. Handley menambahkan, "Mereka menjalankan kekuasaan, tanpa memiliki kekuasaan politik." Biasanya ini terjadi melalui dewan rahasia yang anggotanya adalah mantan anggota kabinet pemerintahan dan bekas jajaran militer. Keputusan dewan adalah rahasia dan luput dari pengawasan demokratis. Sehingga negara ini berkembang menjadi golongan masyarakat berdasarkan slogan "Bangsa, Agama dan Raja", jelas Handley.

Selain karisma dan kekuasaan raja, kelebihan lainnya adalah kekayaan. Hartanya tidak ia kelola sendiri, melainkan diatur oleh Crown Property Bureau (CPB). CPB adalah lembaga independen yang tidak tergantung pemerintah dan bukan perusahaan swasta. Mereka juga mengurus perusahaan-perusahaan terbesar di negara itu. CPB tidak membayar pajak. Jumlah pasti kekayaan sulit untuk diketahui. Majalah Forbes memperkirakan, monarki Thailand setiap tahunnya menghabiskan lebih dari 370 Euro.

Demokrasi Tidak Alami Kemajuan

Pengaruh politik dan keuangan kerajaan bermasalah, karena menurut hukum Lèse-Majesté tidak ada yang boleh memberitakannya. Jost Pachaly dari Yayasan Heinrich Böll menyebut salah satu contoh kasus: Sejak bertahun-tahun kelompok yang menamakan diri mereka Kaos Merah dan Kaos Kuning memperebutkan kekuasaan dan pengaruh. Kaos Merah adalah gerakan politik yang mengandalkan dukungan rakyat miskin. Kaos Kuning setia dengan kerajaan dan sebagian besar terdiri dari lapisan menengah, militer dan administratif.

Thailand Unruhen in Bangkok
Kerusuhan 2010 di BangkokFoto: Wally Santana/AP/dapd

2010 terjadi bentrokan hebat yang di bulan Mei saja menewaskan 85 orang dan hampir 1500 mengalami luka-luka. Pachaly menambahkan, "Setelahnya semua membicarakan proses perdamaian, tapi tidak ada kemajuan, karena kedua kelompok utama saling menunggu." Para pengamat memperkirakan, setelah raja meninggal akan terjadi vakum kekuasaan yang bisa membahayakan stabilitas negara itu.