1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jatuh Cinta Mengubah Rasa

Sella Oneko16 Februari 2013

Manis, asin, pahit atau asem, orang yang sedang jatuh cinta tidak bisa merasakannya seperti para lajang atau mereka yang sudah lama menjalin hubungan cinta. Menurut para pakar ini pengaruh hormon.

https://p.dw.com/p/17eD8
Foto: picture-alliance/dpa

Tubuh mereka yang sedang jatuh cinta, berada dalam kondisi "darurat". Tak heran bisa muncul ungkapan seperti "masakan terlalu asin karena si koki sedang jatuh cinta“. Kenyataannya, kondisi jatuh cinta betul-betul mempengaruhi indra manusia saat mencicipi rasa asin, manis, asam dan pahit.

Pihak yang bisa disalahkan adalah hormon, zat kimia pengantar informasi yang ikut menentukan hampir seluruh fungsi tubuh. Hormon misalnya, turut mengatur pencernaan, sistem imunitas dan ketahanan terhadap stress. Selain itu, hormon juga punya andil dalam urusan cinta.

Kondisi Darurat Jatuh Cinta

"Hormon punya peran sentral dalam tubuh. Segala sesuatu yang kita rasakan sangat tergantung pada gelombang hormon di dalam tubuh", jelas Carsten Harms dari tim peneliti Pusat Transfer Teknologi (ttz) di Bremerhaven, Jerman.

"Bila kita berada dalam situasi darurat, seperti saat jatuh cinta, maka ada sejumlah hormon yang bertambah. Kenaikan jumlah hormon ini bisa mempengaruhi persepsi kita mengenai rasa."

Perubahan persepsi ini telah diteliti pada 46 orang. Selain kelompok pasangan yang baru jatuh cinta, ada kelompok yang mengontrolnya yang terdiri dari lajang serta orang yang sudah lama berada dalam hubungan jangka panjang, seperti suami-istri.

Sebelum penelitian dimulai, para peserta dipilih melalui tes psikologis, yang disebut "Passionate Love Scale" atau "skala kegairahan cinta". Tes ini dikembangkan oleh Elaine Hatfield dan Susan Spencer pada tahun 1986. Lewat daftar pertanyaan dicari informasi tentang berapa sering seseorang memikirkan atau merindukan pasangannya. Informasi ini juga menentukan apakah peserta akan dimasukkan dalam kelompok yang baru saja jatuh cinta, atau kelompok yang mengontrolnya.

Selama tes berlangsung, setiap kelompok diuji coba dalam hal merasakan dan mencium, selain itu harus memberikan contoh air liurnya. Ini berfungsi sebagai patokan bagi segala perubahan pada tubuh. Dalam pemeriksaannya, peneliti menandai tingkat hormon oksitosin dan testosteron.

Hubungan Pengaruhi Hormon

Hasil tes menunjukkan bahwa tingkat hormon oksitosin menentukan indra rasa mereka yang jatuh cinta.

Salah satu hasil yang menarik, menurut Harms adalah orang yang tengah jatuh cinta memerlukan lebih banyak garam, gula maupun asam dalam suatu makanan untuk bisa mengenali rasanya. Sedangkan pasangan yang sudah lama bersama dapat secara mudah membedakan rasa-rasa tersebut.

Oksitosin di Jerman sering disebut "Kuschelhormon“ atau "hormon bermanja", karena sangat erat hubungannya dengan perasaan cinta.

Pada perempuan, jumlah hormon ini meningkat pada saat melahirkan atau menyusui. Tapi status hubungan cinta juga mempengaruhi hormon ini dan terbukti jelas dalam hasil penelitian tersebut.

Perempuan dan lelaki yang berada dalam kondisi jatuh cinta atau mencintai memiliki jumlah oksitosin yang lebih tinggi di dalam air liurnya daripada mereka yang di kelompok lajang.

Juga tingkat hormon testosteron, yang biasanya berbeda kepekatannya pada lelaki dan perempuan dan memiliki dampak yang sangat berlainan, menunjukkan perubahan serupa pada orang-orang yang sedang jatuh cinta. Pada perempuan jumlah testosteron meningkat, sedangkan pada lelaki menurun.

Hanya lelaki yang sudah lama berada dalam hubungan percintaan bisa memiliki tingkat hormon testosteron yang lebih rendah daripada lelaki yang baru saja jatuh cinta. Para ilmuwan mengira, bahwa hal tersebut menandakan situasi kehidupan yang lebih tenang dan seimbang.

Bukan Hanya Pengaruh Jatuh Cinta

Perubahan hormon tidak hanya berdampak pada indra rasa mereka yang jatuh cinta, jelas Professor Harms. Juga orang-orang yang berada dalam situasi darurat lainnya mengalami perubahan hormonal. Lejitan adrenalin pada olahragawan atau orang-orang yang mengalami stress, juga termasuk hasil penelitian yang relevan. Kepekaan terhadap rasa garam, misalnya, bisa mengisyaratkan kebutuhan tubuh.

"Penanda perubahan biologis harus berdasarkan beberapa faktor“, ungkap Harms. "Karena perubahan dalam kondisi ekstrim atau darurat tidak terbatas pada hanya dua hormon, melainkan terhadap berbagai hormon dalam tubuh". Itulah sebabnya, studi ini hanya berupa studi awal.

Dengan meneliti lebih banyak hormon dan lebih banyak cita rasa mungkin bisa diketahui, apakah dalam kondisi darurat seperti jatuh cinta, ada kebutuhan asupan yang lain. Bagi industri pangan hasil penelitian seperti itu bisa sangat menarik, karena nantinya bisa menciptakan produk dengan cita rasa yang sesuai.