1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pariwisata dan Wajah Buram Indonesia

Andy Budiman6 Maret 2013

Pariwisata adalah salah satu penghasil devisa terbesar bagi Indonesia. Industri ini memberi kontribusi 4 persen PDB dan menampung sekitar 8,5 juta tenaga kerja. Namun sejumlah catatan mengancam.

https://p.dw.com/p/17rSN
Blick über die Fläche bei Kalimantan auf der indonesischen Insel Borneo, die vor 13 Jahren für ein inzwischen gescheitertes Mega-Reis-Projekt abgeholzt worden ist. Weil die Böden jedes Jahr in der Trockenzeit brennen und die Brände in dem trockenen Torf auch unterirdisch schwelen, wächst dort praktisch nichts mehr (Aufnahme vom 03.11.2009). Einer der wichtigsten Kohlenstoffspeicher der Welt ist akut bedroht. Die Torfmoorwälder in Indonesien, deren Böden pro Hektar 6000 Tonnen und damit 50 Mal so viel Kohlenstoff wie andere Tropenwälder speichern, werden in rasantem Tempo abgeholzt. Foto: Christiane Oelrich (zu dpa-Reportage "Torfmoorwälder vor dem Kollaps - Zeitbombe für das Klima" vom 18.11.2009) +++(c) dpa - Report+++
Lahan hutan (yang gundul) di KalimantanFoto: picture-alliance/dpa

Bagi Indonesia, pariwisata memberi kontribusi signifikan. Pemasukan dari sektor ini mengalahkan nilai ekspor pakaian jadi, barang elektronik, tekstil dan kertas.
Setiap tahun jumlah turis asing yang datang ke Indonesia terus bertambah. 2012 jumlahnya mencapai 8 juta, naik dari 7,6 juta wisatawan pada tahun 2011. Tahun ini, Indonesia menetapkan target ambisius untuk memikat 9 juta turis.

Tapi pameran pariwisata ITB Berlin tak hanya menampilkan wajah Indonesia yang indah. Sebelum malam pembukaan, Watch Indonesia, sebuah LSM Jerman menggelar poster di depan pintu masuk pameran ITB. Gambar Indonesia yang hijau dan sering dipakai kampanye pariwisata, disandingkan dengan hutan-hutan yang mulai gundul.

Bäume Abholzung Brandrodung von Regenwald Umweltzerstörung Rodungsflächen neu rainforest, deforestation zwischen Samarinda und Bontang Kalimantan Borneo Indonesien rainforest clearing/Borneo
Lahan gundul kawasan hutan antara Samarinda dan Bontang (Kaltim)Foto: picture-alliance/OKAPIA KG,Germany

"Di sini (ITB-red) kita melihat Indonesia yang menjual keindahan alam, hutan tropis yang masih utuh dan menjadi tempat tinggal orang utan. Padahal faktanya, itu hanyalah sebagian kecil yang masih tersisa, sebab banyak hutan telah ditebang habis dan orang utan tak bisa lagi tinggal di sana," kata Koordinator Watch Indonesia Alex Flor kepada Deutsche Welle.

"Yang dijual di pameran ini adalah sebuah taman safari yang luasnya terbatas. Orang barat harus tahu, ada banyak hal yang sudah berubah di Indonesia," kata Flor.

Indonesia dipandang sebagai salah satu negara yang paling memiliki keanekaragaman hayati di dunia. Ironisnya, negara dengan percepatan kerusakan lingkungan dan laju deforestasi tertinggi di dunia, terjadi di Indonesia. Pemerintah Indonesia mencatat hingga 2006, setiap tahun lebih 1 juta hektar hutan berkurang akibat penebangan liar, perluasan perkebunan sawit dan penambangan di wilayah hutan lindung. Terakhir angka itu turun menjadi 500 ribu hektar per tahun.

Indonesia Tidak Lagi Seperti Dulu

Tak hanya alam yang rusak, masyarakat juga mulai berubah. Syafiq Hasyim, Ketua Rois Syuriah atau Dewan Penasihat Pengurus Cabang Istimewa Nahdatul Ulama di Jerman, sedang merampungkan studi doktoral tentang Islam Indonesia di Freie Universität Berlin. Ia cemas karena 10 tahun terakhir masyarakat Indonesia semakin tidak toleran, dibanding yang dulu sering dipandang oleh barat.

"Kalau satu atau dua tahun mendatang intoleransi tidak menurun, maka Indonesia tak layak lagi disebut negara toleran," kata Syafiq kepada DW. Ditambahkannya, "Publik Eropa dan dunia tidak bodoh, jika yang dijual dalam pameran ITB tidak sesuai kenyataan, maka jualan itu tidak akan ada nilainya."

Pekan lalu, organisasi HAM Human Rights Watch menyerukan agar masyarakat internasional berhenti memberi contoh Indonesia sebagai negara yang toleran dan membeberkan data terkait meningkatnya kekerasan sektarian di Indonesia.
Menyebut Indonesia sebagai negara toleran, tidak akan mendukung Indonesia untuk melakukan perubahan menangani masalah intoleransi, demikian Human Rights Watch.

Sebuah peristiwa sempat terjadi di depan mata DW, saat seorang pria berbadan tegap dengan rambut cepak menghampiri Alex Flor dengan nada mengancam: "Hati-hati, saya tahu siapa anda. Jangan macam-macam". Laki-laki berjas rapi itu kemudian pergi dan menghilang.

Tapi Alex Flor tak peduli. Ia berharap, ITB akan membuat dunia lebih melihat Indonesia. "Mudah-mudahan para turis yang datang menjalin kontak langsung dengan masyarakat Indonesia, agar mereka melihat langsung persoalan yang sedang terjadi," pungkas Koordinator LSM Watch Indonesia, Alex Flor.

PALEMBANG, SOUTH SUMATRA, INDONESIA - DECEMBER 10: An aerial view of rainforest in Merang during an aerial tour of the Sumatran forest taken by Greenpeace and South Sumatra Governor, Alex Noerdin on December 10, 2010 in District Musi Banyuasin, Palembang, South Sumatra, Indonesia. Norway have agreed to support Indonesia's efforts to reduce emissions from deforestation and the degradation of forests and peat lands, caused by pulp, palm oil and wood businesses. (Photo by Ulet Ifansasti/Getty Images)
Hutan tropis di Indonesia akan (kembali) seasri ini?Foto: Getty Images
This photo taken in Sampang, East Java on August 26, 2012 shows two men attacking a house in Sampang. Two people were killed and dozens of homes torched in an attack on Shiites in Indonesia, a human rights group said on August 27, in the latest sign of rising intolerance in the world's largest Muslim country. AFP PHOTO (Photo credit should read STR/AFP/GettyImages)
Konflik Suni Syiah di SampangFoto: Getty Images