1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Peran Jejaring Sosial di Tunisia

Sven Pöhle15 April 2013

Jejaring sosial memang membantu meruntuhkan rejim Ben Ali. Facebook dan Twitter menyatukan para pemrotes. Dua tahun kemudian, mereka terpecah lagi.

https://p.dw.com/p/18Ftd
tunesische Flagge mit den Händen Facebook-Profilfoto. +++(c) dpa - Bildfunk+++
Protes lewat Facebook, TwitterFoto: picture-alliance/dpa

Dalam aksi penggulingan rejim Ben Ali Februari 2011, Facebook, Twitter dan jejaring sosial lain memainkan peran penting. Beberapa media bahkan menyebut aksi perlawanan di Tunisia sebagai ”Revolusi Media Sosial”.

Tapi tidak semua pengamat setuju dengan gambaran itu. ”Ada gambaran yang bias tenang peran teknologi informasi dan komunikasi dalam hubungannya dengan Musim Semi Arab,” kata Richard Heeks, Profesor Informatika Negara Berkembang di Universitas Manchester kepada Deutsche Welle.

Anita Breuer, ahli politik di lembaga Jerman Deutsches Institut für Entwicklungshilfe (DIE), mengikuti secara intensif perkembangan di Tunisia. „Facebook tidak menyebabkan pecahnya revolusi, tapi media itu membantu mengumpulkan massa di jalan”, ujarnya.

Aksi turun ke jalan merupakan tindakan penting bagi keberhasilan revolusi. Media sosial bukan pemicu aksi protes. Yang menyebabkan protes luas adalah rasa kecewa masyarakat, karena pengangguran, kemiskinan dan korupsi meluas.

Internet Jadi Media Komunikasi

Jejaring sosial di internet dan telepon seluler bisa mempercepat dan memperkuat gerakan perlawanan. Karena media cetak dan elektronik diawasi oleh rejim, internet menjadi sumber utama informasi bagi para penentangnya. Internet sekaligus berfungsi sebagai penerus aspirasi mereka.

Media sosial juga membantu menghubungkan berbagai lapisan masyarakat di Tunisia. Pengeritik rejim dari kelompok terdidik dari dalam dan luar negeri berkomunikasi dengan kelas menengah dan kelompok masyarakat miskin.

Protesters against President Zine El Abidine Ben Ali during a demonstration in Tunis, Friday, Jan. 14, 2011. (AP Photo/Christophe Ena)
Aksi protes di Tunis, Januari 2011Foto: AP

Tapi aksi protes bisa menyebar dengan cepat karena di Tunisia sudah ada organisasi non pemerintah dan jaringan aktivis. Kepada DW, Anita Breuer menerangkan, situasi ini yang berbeda dengan negara-negara otoriter lain.

Richard Heeks dari Universitas Manchester juga berpandangan sama. ”Teknologi informasi seperti media sosial bisa mendorong gerakan demokrasi dan sosial. Tapi tanpa fundamen masyarakat sipil, tidak akan muncul gerakan demokrasi”.

Demokrasi Masih Rapuh

„Tidak ada yang meragukan pengaruh media sosial dan internet dalam mobilisasi massa“, kata Anita Breue. Pertanyaannya, sejauh mana peran media sosial dalam memperkuat sistem demokrasi di Tunisia.

Setelah Ben Ali digulingkan, pemerintahan transisi pada awalnya mencabut sensor. Tapi tidak lama kemudian, beberapa situs internet disensor lagi. Sekalipun konstitusi menjamin kebebasan pers dan kebebasan berpendapat, pengeritik dan jurnalis sering diajukan ke pengadilan dengan alasan menghina pemerintah atau agama.

Dua tahun setelah rejim Ben Ali tumbang, Tunisia kini pecah dalam kubu relijius dan kubu sekuler, kata Anita Breuer. Ini juga terlihat di internet. Tidak hanya kelompok pro-demokrasi yang menggunakan jaringan sosial seperti Facebook dan Twitter, melainkan juga kelompok radikal seperti Salafi. Mereka mengorganisasi aksi kekerasan menentang politisi yang menurut mereka terlalu liberal.

Richard Heeks menegaskan, media sosial juga bisa menjadi alat penindasan. Banyak penguasa yang sudah menyadari potensi jejaring sosial sebagai media komunikasi. Makin banyak pemerintahan yang sekarang mengawasi penggunaan teknologi informasi dan komunikasi ini. Internet dan media sosial sekarang dijadikan alat oleh banyak rejim untuk mengawasi dan menindas perlawanan politik.