1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tarik Ulur Bensin-bio Dan Minyak Sawit

Edith Koesoemawiria11 September 2013

Parlemen Eropa akan tetapkan persentase bahan bakar tanaman dalam bensin. Dukungan bagi pengurangan persentase itu menguat. Tapi cukupkah?

https://p.dw.com/p/19fto
Foto: CC/a_rabin

Penanganan iklim global ditandai berbagai upaya menghasilkan energi yang ramah lingkungan. Semisal bensin-bio, bahan bakar campuran minyak bumi dengan minyak dari tanaman.

Namun penggunaan bensin-bio tak lantas berarti perubahan iklim global berhenti, apalagi bila untuk itu hutan digunduli. Begitu pandangan Komisi Lingkungan Hidup parlemen di Strassburg Juli lalu, yang menilai dampak nyata terhadap perubahan iklim dan kenaikan harga pangan di seluruh dunia.

Was bringt der neue Biosprit?
Foto: picture alliance/dpa

Rabu (11/09/13) parlemen Eropa akan menetapkan prosentase bahan bakar tanaman dalam bensin-bio. Komisi Uni Eropa ingin menurunkan persentase itu dari 5,5% menjadi 5%.

Hemat pajak dan menahan harga pangan

„Target itu terancam gagal“, ungkap anggota parlemen Eropa, Jo Leinen (SPD). Dukungan untuk menurunkan prosentase datang dari berbagai kelompok masyarakat sipil dunia. Sejumlah organisasi lingkungan dan bantuan, seperti „Brot für die Welt“, „Misereor“ dan „Watch Indonesia“ juga menyurati wakil Jerman di parlemen Eropa dengan imbauan agar campuran itu betul-betul hanya sebatas 5 persen.

Dengan begitu, menurutnya, ada penghematan dana pajak karena subsidi untuk bensin-bio aan berkurang. Juga, kenaikan harga bahan pangan bisa dihambat. Belakangan, penggunaan tumbuhan pangan untuk bensin telah mendorong tinggi harga pangan.

Demo gegen Palmöl Anbau in Berlin
Foto: Watch Indonesia! e.V.

Bondan Andriyanu dari Sawit Watch, berharap Uni Eropa menetapkan kuota campuran dibawah 5 persen. Sawit Watch kerap melihat petani-petani yang digusur oleh pengusaha sawit. Saat ini sudah 12,2 juta hektar yang digunakan untuk itu dan setiap menit sekitar 13 lapangan sepakbola kawasan hutan ditebang untuk perkebunan sawit.

Ditegaskan, kenaikan persentase minyak dari tumbuhan akan mengisyaratkan permintaan yang meninggi. Dan itu akan memicu investasi yang lebih besar untuk membuka lahan perkebunan sawit. Hal yang kemudian akan menambah rawan kondisi lingkungan dinegara-negara pengekspor bahan dasarnya. Indonesia dan Malaysia merupakan produsen minyak sawit terbesar dunia.

Forum Industri Dukung Minyak Ramah Lingkungan

Namun baik komisi energi parlemen Eropa, maupun sebagian negara Uni Eropa menentang pembatasan ini. Komisi energi EU justru ingin menaikkan batasan maksimal pada 6,5 persen dan banyak negara mendorong batasan menjadi 7 persen.

Produsen bahan bakar bio berargumentasi bahwa Uni Eropa sudah bertahun-tahun mendorong peningkatan produksinya, dan bakal merugi setelah berinvestasi miliaran Euro. Selain itu, sudah berupaya memenuhi aturan-aturan ramah lingkungan.

Flash-Galerie Malaysia Palmöl Plantage
Foto: AP

Salah satunya dengan pembentukan Forum RSPO (Roundtable on Sustainable Palmoil), yang diluncurkan di Berlin awal September ini. “Forum ini ingin mendukung perusahaan agar hanya menggunakan minyak sawit yang melalui sertifikasi terjamin 100% ramah lingkungan”. Begitu ungkap Sekjen Forum, Daniel May.

Seputar peluncuran forum pengusaha sawit itu, puluhan aktivis Jerman dan Indonesia berunjuk rasa di depan markas Komunitas Kerjasama Internasional Jerman, GIZ di Berlin. Kritiknya, pebisnis sawit tidak bisa diharapkan melindungi lingkungan maupun menjaga keberlanjutan. "Sertifikat tidak ada artinya di negara yang hutan-hutannya musnah, tukas Hedwig Zobel dari NGO, Rettet den Regenwald (Selamatkan Hutan Tropis)

Menurut Clemens Neumann, staf kementrian ekonomi Jerman, "Kritik NGO ini beralasan, namun sangat sulit untuk hanya memfokus masalah lingkungan saat menghadapi pertumbuhan penduduk." Minyak sawit digunakan dalam hampir semua produk. Tahun 2012, permintaan minyak sawit menjadi 50 juta ton, lebih tinggi dari kacang soya atau raps. Jerman mengimpor 1,2 juta ton minyak sawit tahun lalu.