1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dilema Damai Filipina Selatan

16 September 2013

Sepekan kekerasan telah memperlemah harapan perdamaian di Filipina Selatan yang kaya sumber daya dan memunculkan kritik atas sikap Manila yang meremehkan kemarahan faksi pemberontak yang tak dilibatkan dalam perundingan.

https://p.dw.com/p/19i4F
Foto: Reuters

Kesepakatan yang ditandatangani Presiden Benigno Aquino dan kelompok pemberontak Muslim terbesar Oktober tahun lalu, dimaksudkan untuk membuka jalan untuk memulihkan dan membangkitkan pulau di Mindanao yang telah didera konflik selama 40 tahun, dengan memberi lebih banyak otonomi kepada kelompok Muslim di negara berpenduduk mayoritas Katolik tersebut.

Kesepakatan, dengan Moro Islamic Liberation Front (MILF), masih berlaku, tapi serangan atas pusat perdagangan di kota Zamboanga oleh ratusan pemberontak bersenjata telah menggarisbawahi kecemasan akan kegagalan proses perdamaian akibat problem peredaran senjata, kekuasaan klan dan faksi pemberontak yang tidak puas.

Pemberontak unjuk kekuatan

Angkatan bersenjata mengatakan, 61 orang termasuk 51 anggota faksi yang memisahkan diri dari MNLF terbunuh dalam pertempuran, yang telah berlangsung sepekan. Sementara sembilan puluh orang lainnya dilaporkan terluka.

Aquino, yang mengunjungi kota itu pada Jumat pekan lalu untuk menyaksikan salah satu krisis keamanan terbesar selama tiga tahun kekuasaannya, harus memutuskan apakah akan menindak kelompok itu – dengan risiko meluasnya kekerasan – atau membuka dialog yang akan bisa membuat proses perdamaian menjadi semakin rumit.

Gencatan senjata gagal Sabtu lalu dan tentara kini masih bertempur dengan para pemberontak di Zamboanga, sebuah pelabuhan yang menjadi rumah bagi 800.000 orang, dan pulau tetangga Basilan, yang mengakibatkan ribuan orang terpaksa mengungsi.

Kekerasan telah melumpuhan pelabuhan, memaksa bank dan kegiatan bisnis tutup, membakar sekitar 300 rumah dan membuat penerbangan terhenti. Para pemberontak membuat serangan mendadak pada Senin, mencoba berpawai di kota dan mengibarkan bendera kemerdekaan.

“Hanya ada satu kata untuk menggambarkan apa yang terjadi di kota ini – bencana,“ kata Cholo Soliven, presiden kamar dagang dan industri kota Zamboanga. ”Kami rugi banyak, ekonomi kami sedang mengalami pendarahan.“

Kecemasan Investor

Cadangan mineral Mindanao termasuk emas, tembaga, nikel besi, kromit dan mangan yang terhitung sekitar 40 persen dari total cadangan seluruh negeri.

Laut Sulu dan wilayah pelayanan Cotabato Basin, yang keduanya termasuk berada di dalam zona konflik, jika dikombinasikan memiliki cadangan 411 juta barrel minyak mentah, lebih dari tiga kali lipat konsumsi tahunan negara itu, serta memiliki 2,3 milyar kaki kubik gas.

Kekerasan terakhir adalah pengingat serius bagi para calon investor. Perusahaan minyak perusahaan lainnya seperti pengolahan makakan Del Monte Pacific Limited sebelumnya telah mengatakan bahwa mereka sedang mempertimbangkan untuk memperluas investasi bisnis mereka setelag perundingan damai dengan MILF tercapai.

“Jika kekerasan…berlanjut dan berlarut-larut, atau jika konflik meluas, maka ini akan secara serius melemahkan upaya Mindanao untuk menarik investasi,” kata Rajiv

Biswas, Kepala Ekonom Asia Pasifik dari IHS.

Angkatan bersenjata mengatakan paling sedikit 100 warga kini terjebak di wilayah pemberontak, dengan puluhan diantaranya dipercaya telah dijadikan sandera. Sekitar 62.000 orang mengungsi, kata pemerintah Filpina, sementara beberapa warga terdampar oleh pertempuran dan membutuhkan bantuan makanan dan air.

Faktor “Misuari“

Para pemberontak ini adalah salah satu faksi dari kelompok pecahan pemberontak MNLF, yang dicela karena pada tahun 1996 menandatangai kesepakatan damai dengan pemerintah. Pemimpin faksi ini, Nur Misuari, 71, memisahkan diri dari kelompok utama pada tahun 2001 dan tahun lalu memperingatkan bahwa MILF telah menandatangani “surat kematian“nya dengan menyepakati perjanjian dengan pemerintah akhir tahun lalu.

“Tujuan dia (Nur Misuari-red) adalah memprovokasi kekerasan dan menginternasionalisasikannya untuk membuat MNLF menjadi pemain yang lebih penting dalam proses perdamaian,“ kata Stephen Norris, seorang analis keamanan yang bekerja untuk grup Control Risks di Singapore.

Rodolfo Garcia, seorang pensiunan Jenderal, mengatakan pemerintah harus membuka pembicaraan dengan Misuari, yang telah mengambil sikap tidak menonjokan diri sejak kekerasan dimulai dan belum mengakui peran apapun dalam kekerasan tersebut. Seorang pemimpin bisnis Soliven mengatakan pemerintah telah melakukan kesalahan dengan mengabaikan pendiri MNLF tersebut.

"Misuari mungkin tidak lagi kuat, tapi ia masih menjadi simbol perjuangan Muslim,” kata Soliven.

Tapi Teresita Quintos-Deles, penasihat presiden dalam soal perdamaian, mengatakan bahwa tiga faksi MNLF telah bersedia menghadiri pertemuan dengan pemerintah Manila yang akan diselenggarakan oleh Indonesia, sambil menambahkan bahwa faksi Misuari telah menarik diri dari pertemuan.

ab/hp (rtr,afp,ap)