1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Astronom Kiri tentang Tuhan dan Sains

Andy Budiman23 September 2013

Pertanyaan tentang asal-usul, menarik seorang anak Indonesia menggeluti disiplin ilmu pengetahuan paling tua dan semakin langka di dunia. Tri L. Astraatmadja kini menjadi astronom di Carnegie, Amerika.

https://p.dw.com/p/19l5B
Foto: Tri L. Astraadmadja

Ada masa ketika Tri L. Astraatmadja menggeluti dua “panggilan“ sekaligus: belajar Astronomi dan aktif dalam gerakan mahasiswa di awal transisi demokrasi, tak lama setelah Orde Baru tumbang. Ia adalah salah satu pimpinan Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) organisasi mahasiswa berhaluan Kiri. Demonstrasi dan rapat-rapat di Jakarta membuat ia telat menyelesaikan gelar sarjana di Institut Teknologi Bandung (ITB).

Kini, Tri tercatat sebagai satu diantara sangat sedikit orang Indonesia yang menekuni Astronomi. Ia meraih gelar Doktor di kampus bergengsi Leiden Institute of Physics di Belanda yang dikenal punya reputasi cemerlang dalam cabang ilmu paling tua di dunia tersebut.

 Tri melanjutkan program post doktoral di Max-Planck-Institut für Astronomie (MPIA) di Heidelberg, Jerman, yang merupakan salah satu lembaga terpenting dalam bidang Astronomi di Eropa. Di tempat ini, ia terlibat dalam proyek Gaia, sebuah misi ruang angkasa yang menyelidiki satu milyar bintang di langit. Kini ia mengaplikasikan ilmunya di Department of Terrestrial Magnetism Carnegie Institution of Washington.

“Sejak dulu saya tertarik untuk mengetahui bagaimana hal-hal bekerja,” kata Tri membuka percakapan dengan Deutsche Welle.

DW: Kenapa anda tertarik Astronomi?

Tri L. Astraatmadja: Ketika kecil selama 16 minggu saya melihat pertunjukan di planetarium Taman Ismail Marzuki (TIM). Saya juga menonton “Cosmos” dari Carl Sagan. Sejak itu saya melihat bahwa Astronomi tidak hanya melihat ke luar sana tapi juga melihat ke dalam diri, jadi astronomi adalah bagian dari tradisi kemanusiaan untuk mencari asal usul. Ilmu Astronomi pada dasarnya adalah arkeologi, ilmu sejarah, karena kita mengamati cahaya dari obyek-obyek yang sangat jauh. Nah karena cahaya membutuhkan waktu untuk mencapai kita, maka informasi yang kita peroleh adalah informasi dari masa lampau.

Astronomi membuat kita bisa melihat sejarah tentang bagaimana galaksi tercipta dan kondisi semesta di masa lalu. Jadi seperti menggali sebuah reruntuhan dan mencoba untuk mengetahui apa yang dulu terjadi. Sekarang Astronomi sudah bisa mengamati radiasi yang dipancarkan beberapa ratus ribu tahun setelah big bang (dentuman besar-red.) atau pada periode awal munculnya alam semesta.

DW: Apa isi disertasi anda?

Tri L. Astraatmadja: Tentang usaha mencari partikel energi tinggi dari ruang angkasa yakni sinar gamma. Ini semacam radiasi tinggi yang dipancarkan oleh ledakan bintang. Jadi ketika bintang kehabisan bahan bakarnya, dia bisa meledak menjadi Supernova dan melontarkan sebagian besar materi ke segala arah, termasuk radiasi. Nah radiasi ini yang ingin saya tangkap dengan menggunakan alat yang baru dibuat ketika saya memulai disertasi yaitu Teleskop Neutrino. Jadi penelitian saya adalah bagaimana menggunakan teleskop itu untuk mendeteksi sinar gamma.

Temuan itu memberi perspektif baru: pandangan pure knowledge untuk memahami proses-proses apa yang terjadi dalam sebuah ledakan bintang, bagaimana sinar gamma diproduksi. Ini penting misalnya untuk memahami bagaimana fisika dalam level paling fundamental bekerja, untuk mengetahui hukum-hukum dasar yang menggarisbawahi cara kerja alam semesta.

DW: Apa proyek yang sedang anda kerjakan di Max-Planck?

Tri L. Astraatmadja: Saya mendesain software dengan menggunakan metode statistik, lebih tepatnya machine learning untuk mengetahui temperatur, gravitasi dan kandungan kimia dari sekitar satu milyar bintang, berdasarkan cahaya yang kita ukur dari bintang tersebut melalui satelit yang akan diluncurkan November tahun ini.

 

Tri L. Astraadmadja
Tri L. Astraatmadja terlibat dalam proyek Gaia di Eropa yang meneliti satu milyar bintang di angkasa.Foto: Agus Triono PJ

Sekitar empat abad silam, Galileo Galilei diadili karena berpendapat bahwa bumi berotasi dan mengelilingi matahari. Pengadilan Inkuisisi yang digelar Gereja Katolik memvonis Galileo bid'ah karena pandangan ilmiahnya yang bertentangan dengan kitab suci. Ia dikenai tahanan rumah, diwajibkan membaca “tujuh tobat mazmur“ setiap minggu selama tiga tahun, buku karangannya secara tidak resmi juga dilarang beredar.

Hari ini, dunia mengenal Galileo sebagai bapak Astronomi modern sekaligus martir ilmu pengetahuan, karena keberaniannya menyatakan “kebenaran ilmiah” meski bertentangan dengan pendapat Gereja Katolik yang saat itu sangat berkuasa dan sering menindas pandangan yang berbeda.

Kasus Galileo adalah simbol yang menandai “ketegangan” antara Sains dengan Iman. Sebuah tema debat yang belakangan kembali menjadi kontroversi, terutama di tengah periode kebangkitan Agama.

“Dalam Sains, kebenaran sebuah jawaban dinilai berdasarkan fakta-fakta observasi. Teori yang baik harus didukung oleh pengamatan,“ kata Tri ketika ditanya pendapatnya tentang Tuhan.

DW: Apakah bergulat dengan Astronomi, mempengaruhi Iman anda?

Tri L. Astraatmadja: Saya sekarang tidak percaya Tuhan. Agama formal adalah bagian dari usaha manusia untuk mengorganisir dirinya dan juga untuk menempatkan dirinya di alam semesta. Itu juga bagian dari jawaban manusia tentang dari mana saya berasal, ke mana kita akan pergi dan di mana posisi saya di alam semesta. Agama adalah upaya mencari jawaban itu. That's fine, tapi itu bukan kebenaran tunggal.

Vatikan Archiv
Arsip Vatikan yang memperlihatkan Inkuisisi terhadap Galileo GalileiFoto: Megan Williams

DW: Apakah logika Sains memang bisa menggerogoti Iman?

Tri L. Astraatmadja: Saya pikir tergantung pribadi masing-masing. Ada banyak kolega saya yang percaya pada metode ilmiah tapi masih percaya pada Tuhan atau Agama. Mungkin itu yang disebut “God of the gaps,” karena masih ada ruang-ruang kosong yang belum dijawab ilmu pengetahuan, dan karenanya diisi dengan Tuhan. Cuma timbul pertanyaan, kalau sudah tidak ada kekosongan, nanti Tuhan akan ditaruh di mana?

DW: Apa lagi yang berubah dari kesadaran anda setelah mempelajari Astronomi?

Tri L. Astraatmadja: Astronomi mengingatkan saya bahwa semua umat manusia di bumi ini adalah satu, yaitu bagian dari kemanusiaan, dan kita semua berada di kerikil yang sama mengitari matahari.

Tri L. Astraatmadja, 1999-2006 kuliah jurusan Astronomi ITB. 2006-2008 kuliah master di Leiden Observatory. 2008-2012 PhD di Leiden Institute of Physics Belanda. 2012 Post Doctoral di Max-Planck-Institut für Astronomie, Heidelberg, Jerman. Kini bekerja untuk Department of Terrestrial Magnetism Carnegie Institution of Washington.