1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Melawan Kelaparan dengan Pertanian Berkelanjutan

Lydia Heller31 Oktober 2013

Hingga kini pertanian intensif diyakini sebagai jawaban atas kelaparan dan malnutrisi. Namun para pakar menantang ide tersebut, dengan mengedepankan kualitas serta varietas ketimbang kuantitas.

https://p.dw.com/p/1A8tR
Foto: picture-alliance/Katerina Sovdagari/RIA Novosti

"Pergilah keluar dan di mana-mana Anda lihat jagung, jagung dan jagung lagi," ujar Hans Rudolf Herren, presiden Yayasan Biovision dan pemenang Penghargaan Right Livelihood, saat menyampaikan pandangannya terkait masalah kelaparan global. "Di Afrika, di Brasil, di Amerika Anda bisa menyetir sepanjang ratusan kilometer dan yang terlihat hanya jagung! Digunakan untuk membuat etanol dan pakan ternak. Ini salah!"

Sekitar sepertiga hasil panen biji-bijian global dipakai untuk pakan ternak dan lebih dari 50 persen lari ke produksi industri dan pembangkitan energi. Tinggal kurang dari separuh untuk konsumsi manusia. Meski ini tidak menjadi masalah besar bagi warga negara-negara kaya, sekitar 800 juta orang di negara berkembang menderita kelaparan, terutama di Afrika Sub-Sahara dan Asia.

Bantuan tidak pernah mencukupi

Visi akan distribusi pangan global yang adil dan akses lebih luas terhadap nutrisi murah di negara-negara berkembang telah menjadi aspek penting agenda kebijakan pembangunan untuk waktu yang lama - sama halnya dengan keyakinan bahwa kelaparan merupakan akibat dari pertanian yang tidak produktif.

"Terutama di Amerika Serikat teori kami adalah 'Kami harus mendukung petani di negara berkembang! Kami memproduksi pangan secara lebih efisien dan murah dibandingkan negara berkembang'" ungkap Roger Thurow, seorang pakar pertanian global dari Dewan Chicago untuk Urusan Global. Negara-negara Afrika diharapkan untuk membeli pangan yang mereka butuhkan, jelasnya.

Namun semakin jelas bahwa pendekatan ini tidak cukup. Para pemilik ladang kecil - yang di beberapa negara Afrika mencakup sepertiga populasi - telah diubah menjadi penerima bantuan dengan kebijakan semacam ini. Negara-negara tersebut pada akhirnya memiliki sistem pertanian yang terbelakang. Menurut Thurow, bahkan pada saat baik hasil panen mereka tetap lebih kecil ketimbang para petani di negara maju.

"Umumnya mereka kehilangan hingga 30 persen hasil panen karena penyimpanan yang buruk - metode yang digunakan sangat kuno," lanjut Thurow. "Hama dan hujan dapat masuk dan merusak hasil panen dalam beberapa minggu. Dan kalau mereka mau menjual sebagian hasil panen, tidak ada jalan yang memungkinkan pengangkutan dengan selamat ke pasar."

Perbaikan pertanian, perbaikan pangan

Thurow yakin jawaban terhadap masalah kelaparan bukanlah lebih banyak pangan namun kualitas yang lebih baik dan keanekaragaman pangan. Meski hasil panen meningkat di India, menurut ahli gizi Michael Krawinkel dari Universitas Gießen di Jerman, India masih memiliki lebih banyak orang kekurangan gizi dibandingkan negara lain di dunia. Sementara Eropa dan Amerika, di mana pertanian disubsidi dan pangan tergolong murah, tengah memerangi penyakit terkait diet seperti obesitas, diabetes dan tekanan darah tinggi.

"Makan cukup sudah tidak cukup lagi," jelas Krawinkel. "Kita butuh beragam vitamin dan gizi untuk merasa kenyang dan menjaga kadar gula dan lemak dalam darah untuk sehat yang seimbang."

Ia yakin budidaya beragam tanaman akan lebih baik daripada budidaya setiap tanaman dalam skala besar.

"Contohnya, tiga ketinggian tanaman yang berbeda dalam sepetak cukup lazim: sayuran di permukaan, lalu tanaman yang lebih tinggi, di atas itu adalah pohon yang meneduhi dan menghasilkan buah-buahan," papar Krawinkel. "Varietas semacam ini melindungi tanaman dari ancaman alamiah dan mendukung diet yang seimbang dan layak."

Itulah mengapa Hans Rudolf Herren memiliki misi untuk membuat pertanian berkelanjutan sebagai salah satu target pembangunan berkelanjutan, sebuah konsep yang kini tengah dikembangkan oleh sebuah dewan PBB. Namun pada akhirnya, konsumen yang harus pintar dalam berbelanja makanan, tambahnya.

"Saat berbelanja dan memilih produk, setiap orang bebas berkata, 'Saya akan membeli ini tapi tidak yang itu,'" tutur Herren. "Saya yakin industri akan mengikuti kemauan konsumen."