1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Potret Gelap Mucikari Anak Indonesia

12 Agustus 2015

Sebuah fenomena muram muncul di Indonesia. Remaja belasan tahun yang bekerja mandiri sebagai mucikari. Inilah wajah kelam prositusi anak-anak di Indonesia.

https://p.dw.com/p/1A96g
Foto: AFP/Getty Images

Chimoy memantik korek api, menyalakan rokok dan menghisap dalam-dalam, dan menghembuskan asap dari Dunhill Mild-nya. Sikapnya tanpa basa-basi, seorang gadis tangguh yang tingkah lakunya seperti seorang perempuan berusia 30an, meski sebetulnya ia masih berumur 17 tahun. Tato bergambar malaikat warna-warni dan kupu-kupu menutupi kulitnya. Ia memakai kaos hitam bergambar tengkorak besar.

Chimoy – begitu ia dipanggil dan memanggil dirinya – adalah seorang germo.

Ia masuk ke dunia ini sejak umur 14 tahun. Saudara perempuan pacarnya ketika itu meminta ia menjual dirinya dengan imbalan uang. Sejak itu ia membangun bisnis germo yang kemudian berkembang mempekerjakan 30 gadis, menyewa sebuah rumah dan memiliki mobil.

“Uang terlalu kuat untuk ditolak,” kata dia. “Saat itu saya betul-betul bangga bisa mencari uang sendiri.“

Dua tahun lalu, di Indonesia tidak ada laporan mengenai germo anak-anak seperti Chimoy yang bekerja sebagai boss, tanpa orang dewasa di belakang layar.

Tapi Komisi Nasional untuk Perlindungan Anak atau Komnas Anak mengatakan, sepanjang tahun ini, ada 21 gadis berumur antara 14 hingga 16 tahun yang tertangkap karena bekerja sebagai “mami“, dan jumlah sesungguhnya diperkirakan ada jauh lebih banyak.

Itu kini menjadi lebih mudah dibanding sebelumnya. Anak-anak itu sekarang bisa menggunakan layanan SMS dan media sosial untuk mencari klien dan bertransaksi tanpa perlu berdiri di sudut gelap dengan hak tinggi dan rok mini.

Baru-baru ini, di Surabaya, seorang anak berumur 15 tahun ditangkap setelah menemani tiga remaja lainnya menemui seorang klien di sebuah hotel. Kepolisian menyebut, remaja itu mempekerjakan 10 pelacur – termasuk teman sekelas, kawan di Facebook dan bahkan kakak perempuannya sendiri – dan sebagai imbalan, ia menerima seperempat dari Rp. 500 ribu hingga Rp. 1,5 juta uang jasa dari setiap transaksi seks yang ia kelola.

Ia menjalankan bisnis itu dengan menggunakan layanan BlackBerry Messenger, dan bisa mendapatkan uang hingga Rp. 4 juta per bulan. Remaja itu mencari klien potensial di mal atau restoran.

Kisah Chimoy

Chimoy adalah seorang anak tunggal yang tinggal berdua dengan ibunya. Ia mengatakan bapaknya sering bepergian karena harus mengurus tiga istrinya yang lain.

Ia mengenang dengan senyum bangga, bagaimana ia selalu masuk diantara pelajar paling pintar di kelasnya, dengan bakat berbisnis dan memasak. Pada suatu ketika ia pernah membuka kedai kecil yang menjual keripik pedas.

Saat duduk di kelas enam, Chimoy telah bermain dengan kerumunan anak-anak yang lebih tua darinya. Ia mulai mengenal minuman keras dan menggunakan narkoba hingga kelas sembilan, saat ia akhirnya putus sekolah untuk terjun penuh ke dunia prositusi. Ia kemudian hamil dan melahirkan pada usia 15 tahun. Bayi kedua lahir satu tahun kemudian.

Chimoy sempat bekerja di bar-bar karaoke, sambil sekali waktu menjual diri, dan mengumpulkan daftar klien. Uang mulai mengalir, demikian pula narkotika: Ia kecanduan metamphetamine, atau yang banyak dikenal dengan nama shabu shabu.

Awalnya ada tiga gadis yang bekerja untuknya, dan kemudian jumlah itu terus bertambah.

Hampir semuanya berumur antara 14 hingga 17 tahun, meski ada pula yang berumur 20an. Mereka semua menunggu panggilan telepon darinya untuk melayani pelanggan lokal dan asing yang daftarnya terus bertambah di kota pariwisata Bandung.

“Kami menyewa sebuah rumah untuk tinggal bersama,” kata dia. ”Membuat lebih mudah, karena tinggal berteriak: ‘Siapa mau tugas ini?'”

Para pelanggan menelepon atau mengirim SMS mengenai tipe spesifik gadis yang mereka inginkan: tinggi atau berkulit terang. Facebook kadang-kadang digunakan untuk menampilkan foto-foto gadisnya, tapi Chimoy mengatakan tak ada penawaran langsung yang ia berikan secara online.

Kegiatan prostitusi di seluruh dunia biasanya dipimpin oleh orang dewasa, tapi para remaja di banyak Negara telah menemukan cara sendiri untuk mendapatkan uang dari seks, kata Anjan Bose dari ECPAT International, sebuah organisasi non profit global yang mencoba membantu anak-anak yang mengalami pelecehan seksual.

Ingin berhenti

Kini Chimoy kehilangan hampir seluruh hartanya karena kecanduan narkotika. Ia mengaku telah berhenti menggunakan obat bius, dan juga ingin berhenti dari profesi germo. Ia telah dua tahun bekerja untuk Yayasan Bahtera, yang menawarkan bantuan keterampilan dan konseling. Pimpinan yayasan mengaku lembaganya mencoba empati dengan tidak mengambil sikap menghakimi atau menjauhi, jika anak-anak itu masih terlibat dalam bisnis prositusi.

“Saya sedang mencoba menghapus masa lalu saya,“ kata Chimoy, yang kini membesarkan kedua anaknya dengan bantuan ibunya. “Saya selalu menjelaskan kepada para gadis-gadis, ‘Jangan lagi melakukannya. Kalian bisa mencari pekerjaan yang lebih baik. Pekerjaan ini berisiko.'“

Tapi Chimoy masih melakukan bisnis secara teratur dengan sekitar lima gadis remaja yang juga ikut dalam program yayasan. Mereka sedang mencoba berhenti, tapi jika uang mulai habis, mereka akan menelepon Chimoy untuk mencarikan pelanggan.

Tidak sulit bagi mereka untuk mencari klien. Ketika Chimoy bicara tentang mimpi-mimpinya menjadi seorang ahli pembuat kue, nada dering gangsta rap dari telepon genggamnya terus berbunyi, bersama dengan SMS.

Semuanya berasal dari para laki-laki yang ingin membooking gadis.

ab/hp (afp,rtr,ap)