1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Gua Mengungkap Sejarah Tsunami di Aceh

Margie Mason (ap)26 Desember 2013

Sebuah gua dekat pusat gempa pemicu tsunami di Indonesia, memuat jejak ombak raksasa hingga 7.500 tahun lalu. Arsip alam yang langka yang menunjukkan kapan kira-kira bencana berikutnya terjadi.

https://p.dw.com/p/1Agj4
Foto: picture-alliance/AP Photo

Temuan ini menunjukkan alur waktu terpanjang dan terinci tsunami-tsunami yang pernah terjadi di lepas pantai bagian barat provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tepatnya di dekat pusat gempa bumi berkekuatan 9,1 skala Richter yang memicu ombak setinggi 30 meter pada 26 Desember 2004 yang menewaskan 230.000 orang di sejumlah negara, separuhnya di Indonesia.

Gua batu kapur ini terletak beberapa meter di lepas pantai Banda Aceh, satu meter di atas ombak setinggi lutut, dan terlindungi dari badai serta angin. Hanya ombak besar yang dapat menggenangi wilayah pesisir yang mampu menyembur ke dalam.

Kalangan periset tahun 2011 lalu menemukan endapan pasir di dasar laut yang tersapu ke dalam gua ribuan tahun lalu dan berakhir secara rapih dalam lapisan-lapisan di antara kotoran kelelawar seperti kue geologis. Analisa radiokarbon atas materi-materi yang ditemukan, termasuk kulit kerang dan sisa-sisa organisme mikroskopis, memberi bukti adanya 11 tsunami sebelum tahun 2004.

Periode yang bervariasi

Jangka waktu antar bencana tidak pasti, menurut kepala tim riset Charles Rubin dari Earth Observatory of Singapore (EOS). Yang terakhir sebelum 2004 terjadi sekitar 2.800 tahun lalu, namun ada empat tsunami yang terjadi dalam periode 500 tahun sebelum itu.

Dan mungkin saja ada bencana alam lainnya. Para peneliti mengetahui, misalnya, bahwa ada dua gempa bumi besar di seputar wilayah Banda Aceh sekitar tahun 1393 dan 1450. Rubin mengatakan sebuah tsunami besar bisa saja menyapu bukti adanya bencana lain melalui erosi.

Para ilmuwan masih berusaha untuk menentukan ukuran ombak yang dapat memasuki gua.

"Kesimpulan yang bisa diambil adalah bencana besar yang terjadi tahun 2004 bukan berarti tidak akan terjadi lagi dalam 500 tahun ke depan," kata Rubin, seraya menambahkan bahwa gua tersebut ditemukan secara tidak sengaja dan bukan bagian dari kerja lapangan yang direncanakan.

Memperlengkap data

Gempa bumi yang berujung pada tsunami 2004 mengejutkan kalangan peneliti karena patahan yang menghasilkan gempa bumi dahsyat, tidak aktif dalam ratusan tahun.

Dan sejak gempa besar terakhir lebih dari 500 tahun sebelumnya, tidak pernah ada sejarah lisan yang bisa membantu memahami risiko semacam itu.

Sejak 2004, banyak penelitian yang digelar untuk mencoba memahami sejarah pesisir barat pulau Sumatera dengan meneliti timbunan pasir, mengangkat terumbu karang dan data GPS.

"Temuannya sangat signifikan," ungkap Katrin Monecke, seorang profesor ilmu bumi di Wellesley College di Massachusetts.

Ia mempelajari timbunan pasir tsunami yang ditemukan di rawa-rawa di wilayah tersebut, namun tidak terlibat dalam penelitian gua, yang dipresentasikan pada konferensi Persatuan Geofisika Amerika di San Francisco. "Lapisan pasir dalam gua merekam dalam jangka waktu yang sangat panjang dan memberi keterangan mengenai frekuensi gempa."

Meski rekaman jangka panjang terlindungi di dalam gua, Rubin mengatakan frekuensi tsunami tetap belum dapat diketahui secara pasti atau kapan kira-kira bencana dapat terjadi dalam periode singkat antara satu sama lain.

Perspektif ahli geofisika

Ahli geologi Kerry Sieh, direktur EOS yang turut serta dalam penelitian gua, telah memprediksi bahwa gempa raksasa dapat kembali mengguncang wilayah Aceh dalam beberapa dekade mendatang. Mereka umumnya datang dalam bentuk siklus dan terjadinya gempa pada tahun 2004 meningkatkan lebih banyak tekanan pada patahan tadi. Namun sejarahnya sangat beragam, sehingga mustahil untuk memberi prediksi yang tepat.

"Dengan mempelajari tipe tsunami yang terjadi di masa lalu, mungkin kami dapat merencanakan mitigasi untuk tsunami berikutnya," ucap Nazli Ismail, kepala departemen fisika dan geofisika di Universitas Syiah Kuala di Banda Aceh yang ikut mengerjakan proyek ini.

Kepulauan Indonesia terletak pada Cincin Api Pasifik, rangkaian gunung berapi dan garis patahan yang mengelilingi cekungan Pasifik. Inilah tempat terjadinya aktivitas seismik terbesar dan paling mematikan di dunia.