1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

"Hari-hari Erdogan Mulai Dihitung"

Arnd Riekmann31 Desember 2013

Perdana Menteri Turki makin tersudut dengan penyidikan kasus-kasus korupsi. Menurut politisi SPD asal Turki, Lale Akgun, Erdogan makin sulit bertahan di puncak kekuasaan.

https://p.dw.com/p/1Aic9
Foto: picture-alliance/dpa

DW: Menurut Anda, bagaimana posisi Erdogan di Turki setelah perkembangan terakhir ini?

Lale Akgun: "Dia belum pernah terdesak seperti sekarang ini. Erdogan beberapa bulan lalu masih mengira, ia tidak tersentuh dan tetap bisa memperluas kekuasaannya langkah demi langkah. Setelah aksi protes Taman Gezi dan berbagai kasus korupsi terakhir ini, dia mulai tersudut. Hari-hari Erdogan mulai dihitung".

Bagaimana dekatnya skandal korupsi ini dengan PM Erdogan?

Sangat dekat. Anaknya Bilal sudah dipanggil kejaksaan untuk menghadap tanggal 2 Januari mendatang. Bukan sebagai saksi, melainkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi dan pencucian uang. Ini adalah bom waktu bagi keluarga Erdogan.

Dua Menteri harus mengundurkan diri, karena anak-anak mereka terlibat kasus korupsi. Apa artinya ini untuk Erdogan?

Analoginya, seharusnya Erdogan juga mundur. Tapi dia mencoba menghindar dan mengatakan, ada kekuatan asing yang menyasar anaknya, untuk menyerang dia secara pribadi. Erdogan berusaha untuk bertahan di puncak kekuasaan. Tapi dia mulai kehilangan kendali atas lembaga peradilan. Minggu yang lalu dia sendiri mengatakan, tanpa gangguan para hakim dia sebenarnya bisa memerintah lebih leluasa. Sekarang, semakin banyak orang yang meninggalkan partai AKP yang mulai redup.

Apa memang pendukung Fethullah Gulen, yang sekarang hidup di Amerika, berada di belakang penyidikan berbagai skandal korupsi di kalangan pemerintah?

Saya kira, memang begitu. Tapi bukan pendukung Gulen yang menemukan isu korupsi. Sejak bertahun-tahun sudah tersebar isu, bahwa Erdogan dan keluarganya benar-benar memperkaya diri. Ini semacam rahasia terbuka. Pendukung Gulen mengangkat isu itu untuk membalas dendam, karena sekolah-sekolah mereka ditutup.

Partai AKP seperti sebuah bus, yang punya banyak penumpang dengan berbagai latar belakang yang berbeda. Dulu, banyak juga kalangan intelektual dan kelompok kiri. Tapi semakin banyak yang sekarang meninggalkan bus ini. Pengikutnya sekarang sebagian besar kelompok Milli Gorus dan pendukung Fethullah Gulen. Erdogan lalu berpikir untuk mendesak pendukung Gulen keluar, tapi dia menganggap enteng kekuatan kelompok ini. Banyak pendukung Gulen yang memegang posisi kunci. Mereka dulu masuk atas persetujuan Erdogan sendiri.

Belakangan sering digelar aksi demonstrasi yang tidak dimotori oleh pendukung Gulen. Menurut Anda, berapa besar kekuatan masyarakat sipil yang bukan pendukung Erdogan maupun Gulen?

Kekuatan ketiga di Turki, yaitu kekuatan masyarakat sipil yang benar-benar ingin demokrasi dan masyarakat yang terbuka, harus mengorganisasi diri. Pertengahan tahun ini saya berada di Turki dan melihat sendiri, bagaimana orang-orang muda yang berdemonstrasi mengatakan, mereka bukan kekuatan politik. Mereka hanya ingin melakukan protes dan tidak mau mendirikan partai.

Tapi, protes saja tidak cukup. Gerakan ini, yang punya banyak simpatisan, harus membangun organisasi politik. Mereka dengan mudah bisa merebut 10 persen suara dalam pemilu di Turki.

Aksi protes Taman Gezi di Istanbul dulu melibatkan banyak orang dari berbagai golongan. Tua, muda, lelaki, perempuan, orang-orang dari berbagai kelompok masyarakat. Apakah mereka semua bisa bersatu untuk membangun sebuah partai politik?

Tidak. Mereka sebenarnya hanya sepakat dalam satu tuntutan: Erdogan harus pergi! Ini agenda yang menyatukan mereka, sampai Erdogan turun dari kekuasaan. Yang saya khawatirkan, Fethullah Gulen bisa saja datang dan kemudian disambut sebagai penyelamat.

Apa yang bisa dilakukan oleh Uni Eropa, yang sejak puluhan tahun merundingkan keanggotaan Turki?

Uni Eropa saat ini sebenarnya bisa banyak membantu, terutama kalau mereka mendukung proyek dan agenda masyarakat sipil. Karena orang-orang ini perlu memperkuat organisasi sehingga mereka bisa menjadi kekuatan politik.

Apa yang bisa dilakukan oleh Menlu Jerman Frank-Walter Steinmeier dalam situasi ini?

Dia bisa menyampaikan pendapatnya, tentu saja dengan nada diplomatis sebagai seorang menteri luar negeri.

Karena sebagai negara demokrasi, Jerman sebenarnya tidak bisa diam saja melihat bagaimana seorang Perdana Menteri, yang terpilih secara demokratis, semakin lama berubah menjadi seorang pemimpin yang otoriter.

Lale Akgun lahir di Istanbul. Tahun 2002 sampai 2009 ia menjadi anggota parlemen Jerman untuk SPD. Wawancara untuk DW dilakukan oleh Arnd Riekmann.