1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

"Suspended Coffee"

14 Januari 2014

Siapapun yang memesan «suspended coffee», berarti menyumbang minuman hangat kepada orang yang membutuhkan. Ide ini berasal dari jaringan sosial di internet.

https://p.dw.com/p/1ApsE
Foto: Fotolia/kristina rütten

Dijana Ilic sekarang sudah sangat kenal langganannya. Jon, seorang pria berambut tipis berwarna hitam, datang hampir setiap malam ke kafenya. Sedangkan perempuan yang menjual koran tuna wisma hanya datang dua atau tiga hari sekali. Mereka juga tidak selalu ingin minum kopi. Jon misalnya, suka coklat panas, dan perempuan penjual koran lebih suka teh buah dengan madu.

Semakin Dingin Semakin Ramai

"Secara umum bisa dibilang, jika di luar semakin dingin, semakin banyak orang datang ke saya, dan permintaan akan minuman hangat semakin tinggi," kata Dijana Ilic. Ia memimpin kafe bernama Lohascoffee, sebuah bar di Hamburg yang kerap dikunjungi kalangan tertentu. Di dalam kafe ini ada kursi anyaman, cahaya berwarna oranye yang memberi kesan ramah. Di sini juga ada banyak tempat duduk. Secangkir kopi di sini harganya bisa sampai 3,60 Euro atau sekitar 58.000 Rupiah. Tapi tidak untuk orang seperti Jon. Mereka memperolehnya dengan cuma-cuma.

Bildergalerie Teetrinken in Deutschland
Foto: imago/imagebroker/Kröger

Kopi gratis, yang diberikan Dijana Ilic kepada orang-orang yang membutuhkan di daerah sekitarnya disebut "suspended coffee", atau kopi yang ditunda, dan di Jerman semakin populer. Mereka yang datang ke bar atau kafe dan memesan kopi semacam itu sebenarnya membayar untuk dua cangkir. Satu cangkir diminumnya sendiri, dan yang satu lagi diubah menjadi kupon, yang bisa digunakan siapapun yang tidak mampu membayar satu cangkir kopi. Pada hari biasa di musim dingin, sekitar tiga orang datang ke kafe Dijana Ilic dan mendapat kopi gratis, atau minuman hangat lainnya.

Dijana Ilic pertama kali membaca konsep "suspended coffee" di internet, sekitar setengah tahun lalu. Dalam sebuah forum untuk pemilik kafe dan bar, seseorang menulis laporan tentang konsep itu.

Diawali Seorang Murid Sekolah

Ide-ide yang disebarluaskan lewat jaringan sosial di internet, kadang sulit dilacak penggagasnya. Tapi dalam hal "suspended coffee" penyebarannya di Jerman bisa dilacak. Awalnya inisiatif Saskia Rüdiger, seorang murid sekolah berusia 17 tahun dari Zwönitz, di negara bagian Sachsen.

"Saya mengenal konsep ini lewat Facebook, bahwa ada kampanye internasional yang sudah menyebar di banyak negara." Tapi ketika itu belum menyebar di Jerman. Itu diketahui Saskia Rüdiger, setelah ia menelpon pengasuh situs tersebut. Sehari kemudian, Saskia Rüdiger membuat situs Facebook bernama "Suspended Coffees Germany."

Frau mit Laptop in Café
Foto: picture-alliance/dpa

Satu setengah bulan berlalu, sampai di Jerman benar-benar ada "suspended coffee" yang nyata. "Akun saya awalnya belum terkenal. Tetapi semakin disebarkan, dan semakin mendapat 'suka'." Tak lama kemudian sebuah kafe dari Marburg mengontaknya, kemudian kafe lain dari Bielefeld. Sebuah koran dari Bielefeld kemudian melaporkan ide tersebut, dan lebih banyak kafe di daerah itu ikut menlaksanakan konsep "suspended coffee."

Saat ini ada sekitar 50 bar yang menjalankan konsep "suspended coffee" di Jerman. Saskia Rüdiger bercerita, ia dikontak seseorang yang mengerti teknik, dan menawarkan bantuan. Sekarang proyek itu punya situs sendiri, terlepas dari akun di Facebook.

Tidak Mau Mengotorkan Tangan

"Ini aksi yang sangat bagus, karena tidak hanya mengenai kopi. Orang menunjukkan kepada warga yang membutuhkan, bahwa mereka tidak dilupakan. Dan itu tidak ditunjukkan dengan pandangan merendahkan. Lewat aksi ini, semua orang berada di standar sama," ujar Saskia Rüdiger. Pengelola kafe Djana Ilic percaya, ide ini berfungsi, terutama karena pemberi bantuan tetap anonim.

Teekanne Teetasse Tee Teebeutel Teatime
Foto: dpa/pa

Tetapi di sinilah konsep itu mendapat kritik. Peneliti kemiskinan Helmut P. Gaisburger menyebut ini "inisiatif supaya merasa senang", dalam wawancara dengan harian Jerman Süddeutschen Zeitung. Dengan menolong cara ini, berarti orang tidak perlu mengotorkan tangan. Penulis pada harian itu, Kathrin Hartmann menambahkan, "orang bukanlah pahlawan, jika orang membayar dua cangkir kopi, dan tidak bersedia melihat orang yang katanya ditolong."

Biar bagaimanapun, "suspended coffee" jelas jadi contoh, bagaimana sebuah pesan bisa menyebar luas lewat internet, jika bisa menarik minyat banyak orang. Sedangkan kata-kata, bahwa orang mulai menghadiahkan kafe setelah mulai menggunakan internet, jelas tidak benar. Sejak puluhan tahun lalu orang mengenal konsep "caffès sospesos" di Napoli. Konsep ini prinsipnya sama dengan "suspended coffee."

ml/vlz (epd)