1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Teknologi untuk Mengatasi Masalah Pendidikan

Chiponda Chimbelu20 Februari 2014

UNESCO tengah berupaya menjajaki kemungkinan kegiatan belajar mengajar via ponsel. DW pun menengok penggunaan teknologi di negara-negara Afrika dan peluang memanfaatkan konektivitas ponsel.

https://p.dw.com/p/1BBVg
Foto: cc-sa-by-Omaranabulsi

Kapenda Ndimuwanakupa baru tamat sekolah di Windhoek, Namibia. Pemuda berusia 19 tahun itu baru kembali dari magang di Jerman, yang sebagian ia 'crowdfund' menggunakan sebuah video yang ia unggah ke YouTube. Kapenda yang paham media merupakan hasil langsung dari revolusi digital di Afrika dalam beberapa tahun terakhir.

"Kami diajarkan cara menggunakan komputer dan jaringan informasi seperti Google, untuk mencari informasi yang bisa dipakai untuk tugas sekolah dan proyek lainnya," katanya kepada DW.

Sekolah bereksperimen dengan teknologi

Meski Namibia tergolong salah satu negara terkaya di sub-sahara Afrika, kemampuan Kapenda sudah tidak istimewa lagi di kota-kota Afrika lainnya. Dalam tiga tahun terakhir, departemen pendidikan Nigeria telah bereksperimen dengan laboratorium media di lebih dari 60 sekolah di Abuja, menurut Iyke Chukwu dari dewan sekolah. Namun tidak semua guru menyambut teknologi dengan antusias, tambahnya.

"Saat mengangkat ide ini, reaksi awal selalu penentangan karena mereka memikirkan biaya," lanjut Chukwu.

Para guru diharapkan membeli laptop sendiri yang dipakai mengajar. Dan dengan gaji rendah, perlu beberapa tahun bagi seorang guru untuk membeli laptop. Kini perusahaan seperti HP turun tangan, menawarkan program khusus agar guru dapat menyicil.

Jaringan ponsel dapat diakses hampir dari mana pun di Afrika
Jaringan ponsel dapat diakses hampir dari mana pun di AfrikaFoto: Getty Images

Mengeksploitasi konektivitas ponsel

Kalau guru dapat diberi akses ke teknologi melalui program khusus, satu tantangan lain tidak semudah itu diatasi.

"Pemerintah seakan memberi gerobak dulu sebelum ada kudanya. Sebelum membicarakan teknologi di kelas, pertama-tama harus membahas suplai listrik," papar Chukwu.

Namun mungkin ada solusi. Contohnya para pemain di balik perusahaan peranti lunak nirlaba Ushahidi di Kenya tengah mengembangkan sebuah alat menyerupai modem yang otomatis beralih ke jaringan internet ponsel saat baterai habis setelah dipakai 8 jam. Alat ini disebut BRCK, dilafalkan brick.

Sementara raksasa perangkat lunak Microsoft memancarkan internet melalui frekuensi televisi yang tidak lagi terpakai di Kenya, juga untuk membantu mengurangi ketergantungan akan listrik. Google juga punya proyek serupa di Afrika Selatan.

Ponsel dilarang di dalam kelas

Meskipun mendapatkan teknologi terkini bukanlah segalanya, menurut Catherine Jere, seorang periset untuk Education for all Global Monitoring Report terbitan UNESCO.

Dengan rata-rata 43 siswa untuk satu guru, Afrika mempunyai rasio terburuk di dunia, menurut laporan UNESCO tahun 2013-2014. Angka tersebut tidak mencerminkan kenyataan di sejumlah negara yang masih memiliki 200 siswa dalam satu kelas - kurang dari 50 persen anak Afrika tamat SD.

Dan banyak inisiatif seperti di Abuja, Nigeria, atau di Namibia, tidak fokus pada eksploitasi teknologi yang dimiliki jutaan warga Afrika.

"Ponsel masih tabu digunakan di sekolah, sehingga apabila seorang guru melihat siswa memakai ponsel, akan langsung disita, atau bahkan bisa sampai dihancurkan," ungkap Iyke Chukwu. "Menyedihkan bahwa kami belum bisa melihat potensi luar biasa dari penggunaan ponsel sebagai alat mengajar di sekolah kami."

Padahal pasar smartphone Afrika diprediksi naik dua kali lipat dalam empat tahun mendatang, menurut riset pasar perusahaan Amerika, IDC. Dan smartphone juga semakin murah. Tahun ini perusahaan telekomunikasi Afrika Selatan, MTN, merilis smartphone android seharga 50 Dolar, mungkin yang termurah di pasaran.

Smartphone dan ponsel suatu hari dapat memecahkan masalah akses terhadap buku pelajaran karena siswa dapat mengunduh buku online dengan harga murah - atau bahkan gratis.