1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pemukim Yahudi Semakin Beringas

Kate Shuttleworth22 Mei 2014

Sejumlah pemukim Yahudi ekstrem mulai menyerang tentara dan polisi di wilayah Tepi Barat yang diduduki Israel. Kekerasan merespon pengusiran warga dari permukiman Yahudi yang dianggap ilegal.

https://p.dw.com/p/1C3kr
Foto: DW/K. Shuttleworth

Pertengahan Mei 2014 Eliraz Fein dari Yitzhar, sebuah permukiman Yahudi dekat Nablus, ditangkap dan dituntut atas tudingan melakukan tindak kekerasan terhadap tentara Israel. Perempuan berusia 22 tahun ini mendapat hukuman tujuh hari tahanan rumah.

Fein berkomentar dalam sebuah forum lokal Yitzhar bahwa melempar batu ke arah orang Yahudi bisa diterima, "bahkan kalau batunya sampai menewaskan seorang tentara."

Seorang warga lainnya yang berusia 17 tahun ikut berdebat sembari mengatakan bahwa "tak masalah membunuh seorang tentara saat ada pengusiran malam hari." Ia lanjut berkata bahwa undang-undang Yahudi membenarkan membunuh siapapun yang menyusup rumah tanpa izin dan mengancam nyawa. Komentar ini diteruskan ke polisi dan pusat komando Angkatan Pertahanan Israel IDF oleh salah satu anggota forum yang berujung pada penutupan forum online tersebut.

Reputasi janggal Yitzhar

Komunitas akhirnya menggelar voting terkait apakah melakukan tindak kekerasan terhadap tentara serta polisi dapat diterima. "Voting berlangsung tegang, 97 persen suara setuju bahwa kekerasan terhadap IDF dan polisi tidak bisa diterima, sedangkan yang 3 persen lagi menolak memberikan suara," ujar Ezri Tobi, jurubicara permukiman Yitzhar.

Bulan April 2014, hingga 50 pemukim Yahudi menyerang markas IDF yang dihuni pasukan cadangan. Mereka membakar habis markas sebagai wujud protes penghancuran empat rumah sementara di luar permukiman Yahudi, yang dianggap ilegal oleh Israel.

Para pemukim tadi juga menghancurkan tenda militer, alat pemanas, fasilitas bahan bakar dan dispenser air. IDF pun merespon dengan mengambil alih gedung Yeshiva, sebuah sekolah religius di permukiman Yitzhar.

Sekolah religius Yeshiva dipandang sebagai sumber sebagian besar tindak kekerasan terhadap militer Israel
Sekolah religius Yeshiva dipandang sebagai sumber sebagian besar tindak kekerasan terhadap militer IsraelFoto: DW/K. Shuttleworth

Lironne Koret, jurubicara IDF, menyatakan bahwa akibat "kekhawatiran akan keamanan yang terus berlanjut," gedung yeshiva diambil alih polisi perbatasan. "Gedung ini dipilih atas dasar kebutuhan pengamanan untuk mencegah kekerasan dan vandalisme yang menarget anggota militer dan desa-desa sekitar, yang bersumber dari wilayah seputar Yeshiva," ungkapnya.

Serangan 'price tag'

Ide di balik serangan 'price tag' adalah imbalan akan dibayarkan seseorang atas pengrusakan atau penghancuran properti pemerintah dan IDF di Yitzhar. Dulu serangan menarget warga Palestina, sekarang pemukim melakukan tindakan vandalisme melawan IDF.

Yeshiva dikelola oleh rabi Yitzhak Ginsburgh, yang tinggal di Kfar Chabad. Ia menentang upaya pemindahan permukiman Yahudi di wilayah pendudukan Israel dan mengajar anak didiknya untuk melawan tentara serta polisi yang melaksanakan evakuasi.

Ia menyuarakan 'tenaga kerja khusus Yahudi,' ide bahwa warga Yahudi hanya boleh mempekerjakan sesama Yahudi dan meyakini bahwa warga non-Yahudi tidak boleh tinggal di sekitar Yitzhar.

Tahun 2010 seorang rabi lainnya dari Yitzhar, Yitzhak Shapira, ditangkap atas tuduhan melempar bom molotov ke sebuah masjid. Ia merilis buku berjudul 'The King's Torah' yang mengatakan bahwa di bawah undang-undang Yahudi, seorang warga Yahudi diperbolehkan membunuh warga sipil non-Yahudi. Ia juga mendukung pengusiran atau genosida atas kaum lelaki Palestina yang berusia di atas 13 tahun.

IDF telah menghancurkan permukiman Yahudi ilegal
IDF telah menghancurkan permukiman Yahudi ilegalFoto: DW/K. Shuttleworth

Pejuang tunggal

Rabi Netanel Elyashiv berasal dari New York dan warga permukiman Eli, tak jauh dari Yitzhar, di bagian utara Ramallah dan menjadi rumah bagi 3.200 warga.

Elyashiv mengakui bahwa kelompok-kelompok tertentu sangat menentang segala jenis koeksistensi. "Ada ekstremis Yahudi tertentu yang berpikir bahwa suatu hari mereka dapat mengusir warga Palestina atau semacamnya - menurut pandangan saya ini bukan hanya tidak realistis tapi juga amoral. Menurut saya setiap orang yang tinggal di wilayah ini punya hak untuk hidup dengan nyaman mungkin dan saya akan melakukan apapun untuk membantu perwujudan hal ini," ucapnya.