1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Nasib Jalur Gaza Pasca Rekonsiliasi

Tania Krämer3 Juni 2014

Selama 7 tahun warga Gaza mengharapkan rekonsiliasi antara Fatah dan Hamas. Kini pemerintahan interim yang baru menghadapi tingginya harapan warga untuk segera memperbaiki situasi enklave Palestina.

https://p.dw.com/p/1CAtN
Foto: DW/K. Shuttleworth

Surat kabar yang pernah dilarang beredar di Tepi Barat dan Yerusalem Timur kembali ke kios-kios koran di Jalan Omar Al Muhktar di Kota Gaza. Tujuh tahun setelah Hamas melancarkan kekerasan untuk merebut kekuasaan di Jalur Gaza, pemerintah mengizinkan penjualan surat kabar pro-Fatah – langkah pertama menuju jalan panjang rekonsiliasi antara dua partai Palestina yang berseberangan.

Rekonsiliasi antara Hamas dan Fatah berarti menyatukan dua pemerintahan yang benar-benar berbeda dari Tepi Barat dan Jalur Gaza.

“Selama hampir tujuh tahun, kami punya dua sistem, satu di Gaza yang didominasi oleh Hamas, dan satu lagi di Tepi Barat yang didominasi Fatah,” ujar Mukhaimer Abu Saada, seorang pakar politik di Universitas Al-Azhar di Kota Gaza.

Presiden Mahmoud Abbas (kanan) meminang Rami Hamdallah untuk mengepalai pemerintah persatuan
Presiden Mahmoud Abbas (kanan) meminang Rami Hamdallah untuk mengepalai pemerintah persatuanFoto: Reuters

Menggabungkan kementerian-kementerian tertentu akan menelan biaya besar karena kedua administrasi membawa pegawai sendiri, jelas Abu Saada. Ketika Otoritas Palestina merumahkan pegawai, pemerintahan di bawah Hamas mengisi jabatan yang kosong dengan pegawai negeri baru.

Proses ini tentu akan menambah beban bagi Otoritas Palestina yang sudah tercekik secara finansial. Harapannya komunitas internasional mendukung rekonsiliasi dengan memberi bantuan finansial. Negara-negara Arab seperti Qatar telah berjanji mengucurkan dana.

Angin bagi layar Fatah

Namun para pegawai kantor-kantor Fatah di Kota Gaza tetap merasa yakin. Fatah, yang kalah pemilu tahun 2006 dan harus mundur dari kekuasaan di wilayah pesisir setelah perebutan berdarah oleh Hamas tahun 2007, menunjukkan optimisme atas proses rekonsiliasi.

“Tentu konyol kalau berpikir bahwa sesuatu dapat dibangun di atas perpecahan,” kata Faisal Abou Shahla, seorang pemimpin Fatah di Gaza, sembari menambahkan bahwa pemerintahan baru tidak akan mengikutsertakan dua kementerian berbeda untuk menangani tanggung jawab yang sama.

Yang masih belum jelas adalah seberapa besar kekuasaan yang rela dilepaskan oleh masing-masing faksi dalam beberapa pekan dan bulan ke depan. Pemerintahan interim baru dimaksudkan untuk bekerja secara independen mempersiapkan pemilihan parlemen dan presiden yang telah lama dinantikan. Pada saat yang bersamaan, warga Palestina berharap pemerintah mampu menangani kebutuhan mendesak warga di Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Pos perbatasan antara Rafah dan Mesir seringkali ditutup, mengundang kecemasan warga Gaza
Pos perbatasan antara Rafah dan Mesir seringkali ditutup, mengundang kecemasan warga GazaFoto: DW/T. Krämer

“Pertanyaannya adalah bagaimana cara memberi warga perasaan adanya kemajuan. Kalau tidak akan berujung dengan kegagalan dan kekecewaan,” ucap Bassem Naim, seorang petinggi Hamas di Gaza. "Kita membicarakan perbatasan yang telah ditutup selama 7 tahun – tentang pos perbatasan di Rafah yang hampir selalu ditutup, begitu juga dengan 45 persen pengangguran dan 80 persen kemiskinan.”

Situasi yang sulit, dan warga Palestina terpecah kalau urusannya mengakui siapa yang salah. Ada yang bilang tanggung jawabnya jatuh ke Fatah karena menelantarkan Jalur Gaza, yang lain mengatakan kegagalan disebabkan Hamas yang tidak memperbaiki situasi selama menguasai enklave pesisir.

Harapan di perbatasan

Warga Gaza terutama ingin melihat perbatasan Rafah dengan Mesir dibuka secara reguler. Akhir pekan lalu lagi-lagi titik utama untuk keluar masuk bagi mayoritas 1,7 juta warga Jalur Gaza terlihat sepi, kecuali beberapa petugas yang berjaga.

Sejak kejatuhan pemerintahan Mohammed Morsi, Mesir hanya membuka perbatasan beberapa hari dalam sebulan, dan kebanyakan untuk peziarah Muslim.

“Saya berharap Presiden Mahmoud Abbas dapat berbuat sesuatu. Ini tak dapat dipercaya. Saya belum pernah melihat perbatasan dimanapun yang selalu ditutup," tutur Mohammed, seorang peziarah yang berharap proses rekonsiliasi dapat membawa perubahan di Rafah.