1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Menanti Visi Dari Blusukan

Hendra Pasuhuk12 Juni 2014

Jokowi meniti karir politik dari kota kelahirannya Solo, Jawa Tengah. Dalam kurun waktu sepuluh tahun, ia menjadi politisi paling populer dan memperkenalkan "blusukan" sebagai kosakata politik baru.

https://p.dw.com/p/1CH6a
Foto: Reuters

Sepuluh tahun lalu, nama Joko Widodo atau Jokowi belum dikenal publik Indonesia, kecuali segelintir orang di Solo. Ia seorang pengusaha mebel, bidang yang memang didalaminya. Tahun 1985, ia meraih gelar insinyur di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Ia sempat bekerja di bidang perkayuan selama beberapa tahun di sebuah perusahaan swasta, namun akhirnya memutuskan untuk mendirikan perusahaan sendiri. Tahun 2005, pria kelahiran 21 Juni 1961 itu mencalonkan diri menjadi walikota Solo, dengan dukungan PDIP dan PKB. Sekalipun ketika itu banyak yang meragukan kemampuannya menjadi pemimpin politik, ternyata ia memenangkan pemilihan.

Lima tahun kemudian, ia terpilih kedua kalinya sebagai walikota, kali ini dengan lebih 90 persen suara. Publik dan pemilih Solo mengakui prestasinya melakukan reformasi birokrasi, pembenahan kota dan melancarkan program-program sosial. Banyak media nasional mulai menaruh perhatian pada sosok Jokowi.

Blusukan jadi trend baru

Tahun 2012, Jokowi memenangkan pemilihan gubernur di Jakarta. Ketika itu, lawan-lawan politiknya juga meremehkan pria kurus bersuara halus ini. Argumen mereka, bagaimana mungkin seorang dari luar kota Jakarta bisa memahami kerumitan ibukota yang hingar bingar? Ternyata, pemilih Jakarta malah menjatuhkan pilihan pada Jokowi.

Sejak itu, media terus-menerus memberitakan tentang kegiatannya. Jokowi dinilai sebagai sosok yang bersahaja, tidak rumit, jujur, pekerja keras. Keterbukaannya kepada wartawan, sikapnya yang tidak terlalu peduli dengan formalitas dan protokoler, tentu saja menyenangkan para pekerja media.

Apalagi, Jokowi memperkenalkan konsep baru "blusukan". Dalam waktu sekejap, sebuah kata bahasa Jawa ini menjadi kosakata baru di panggung politik Indonesia. "Kunjungan kerja" dan program-program sosialnya selalu menjadi berita koran dan media elektronik.

Menanti Visi Besar

Demokrasi adalah mendengar suara rakyat dan melaksanakannya, kata Jokowi dalam debat capres pertama yang disiarkan langsung di televisi. Sampai kini, ia memang jarang berbicara tentang visi. Pemaparannya selalu sederhana dan merakyat. Itu sudah cukup, katanya beberapa kali selama debat, tanpa menggunakan waktu bicara sampai habis.

Sebagian pengamat mengeritik Jokowi tidak punya visi yang jelas. Bahasanya kebanyakan mengambang dan tidak tegas. Ia sendiri sebelumnya selalu mengelak jika ditanya tentang pencalonannya sebagai presiden, dengan alasan itu adalah urusan partai.

Sampai kinipun, Jokowi tampaknya segan ikut campur dalam urusan partainya, PDIP. Ia memang bukan orator ulung, tidak terlalu ingin mengatur strategi politik, dan lebih senang bekerja secara konkrit.

Dalam beberapa hal, Jokowi mewakili generasi politik baru: Seorang politisi sipil yang sama sekali tidak berkaitan dengan militer dan ideologi orde baru, yang tidak dibesarkan oleh lingkungan partai politik. Dalam hal lain, ia mewakili gaya kepemimpinan Jawa, yang selama ini dikenal pada sosok SBY: Berbicara lemah lembut, mencari harmoni dan berusaha menghindari konflik terbuka.