1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Friedrich Schiller - Disanjung, Dihina, Disalahgunakan

9 Oktober 2009

Karya-karya Schiller sekarang bukan "bestseller" lagi. Tetapi sekolah, jalan dan lapangan yang memakai nama Schiller masih banyak di Jerman. Di samping itu karya-karya pujangga kenamaan Jerman tersebut masih disukai.

https://p.dw.com/p/K2os
Friedrich Schiller (10-11-1759 sampai 09-05-1805)Foto: ullstein bild - Archiv Gerstenberg

Friedrich Schiller yang lahir tanggal 10 November 1759 sudah terkenal selama masa hidupnya, yang hanya berlangsung 46 tahun. Penghormatan atas pujangga besar itu dan karya-karyanya mencapai puncaknya di abad 19.

Pakar sejarah dari kota Köln, Otto Dann, mengatakan, peringatan ulang tahun Schiller yang ke-100, yaitu tahun 1859, juga diadakan dengan latar belakang politis. Ia menambahkan, orang-orang menyanyikan puisi karya Schiller Ode an die Freude, yang melodinya digubah komponis Jerman Ludwig van Beethoven (17-12-1770 sampai 26-03-1827). Waktu itu perayaan diadakan secara spontan. Baik guru, pendeta dan warga berpendidikan lainnya memimpin perayaan. Arak-arakan juga ada. Bisa dibilang ini adalah pesta massa yang paling besar yang pernah diadakan di Jerman di abad ke-19.

Revolusi Gagal dan Bangsawan Berkuasa

Barrikadenkämpfe am Alexanderplatz in Berlin am Nachmittag des 18. März 1848 Kalenderblatt english
Pertempuran di lapangan Alexanderplatz di Berlin, siang hari tanggal 18 Maret 1848, berkaitan dengan Revousi 1848/49Foto: dpa

Ketika itu revolusi menentang absolutisme di Jerman baru berlalu 10 tahun, dan para bangsawan tetap berkuasa. Tetapi ide berdirinya negara nasional Jerman tetap tidak dilupakan. Pujangga Friedrich Schiller yang meninggal tahun 1805 dianggap sebagai prototipe perlawanan terhadap sistem absolutisme.

Schiller dipandang sebagai pemikir yang selalu berusaha untuk menanggapi situasi di jamannya. Ia juga dinilai sebagai pria yang punya sensibilitas untuk masyarakat, politik dan masalah estetika. Demikian dikatakan Otto Dann. Gerakan buruh Jerman yang ketika itu baru berdiri, menilai Schiller sebagai sahabat rakyat kecil yang harus bekerja, lain halnya dengan bangsawan.

Deutschland Komponist Ludwig van Beethoven Zeichnung
Ludwig van BeethovenFoto: picture-alliance / akg-images

Pakar sejarah Otto Dann menambahkan, "Dalam hal ini jiwa republik di paruh pertama abad ke-19 terwujud dalam gerakan emansipasi tersebut. Simfoni no. 9 karya Ludwig van Beethoven yang mencakup Ode an die Freude menjadi terkenal di kalangan gerakan buruh. Komposisi ini selalu dimainkan di malam tahun baru."

Mitos dan Legenda

Ketika masih hiduppun, Friedrich Schiller sudah menjadi mitos dan legenda. Drama-dramanya yang berisi ide-ide kebebasan dan republik mengusik, membangunkan dan menggugah orang-orang di jaman itu. Ruang-ruang di Universitas Jena selalu penuh jika Schiller memberikan kuliah.

Friedrich Schillers Gartenzinne in Jena
Patung Friedrich Schillers di Jena. Di bangunan kecil(tampak melalui jendela), yang menjadi museum di Universitas Friedrich Schiller di Jena, pujangga itu menulis antara lain drama "Die Jungfrau von Orleans", "Maria Stuart" dan "Wallenstein".Foto: dpa

Schiller dikagumi dan disanjung bukan hanya di Jerman. Dewan Nasional Perancis menjadikannya warga kehormatan Perancis. Bangsawan-bangsawan Denmark memberikan uang kepada seniman yang acap kali terjerat utang itu. Schiller juga menulis drama untuk negara-negara terpenting Eropa. Misalnya Don Carlos untuk Spanyol, Wilhelm Tell untuk Swiss, Maria Stuart untuk Inggris dan Demetrius untuk Rusia. Tetapi karya terakhir ini tidak sempat diselesaikannya. Demikian dikatakan Otto Dann.

Di abad ke-20 karya-karya Schiller disalahgunakan untuk propaganda NAZI dan Hitler. Tahun 1934 di awal masa kekuasaan NAZI di Jerman, partai berhaluan ekstrem kanan di bawah Hitler, NSDAP menggerakkan sebuah satuan tentara remaja, yang disebut Hitler-Jugend. Upacara yang menandai aksi tersebut disiarkan melalui radio ke seluruh Jerman dari kota kelahiran Schiller, Marbach am Neckar. Dalam acara itu Schiller disanjung-sanjung sebagai pahlawan remaja-remaja Jerman. "Friedrich Schiller! Friedrich Schiller! Kami menyanjung Schiller sebagai tauladan bagi tiap orang, karena ia telah menyumbangkan jiwa raga dalam menunaikan tugas!"

Bentuk penghormatan seperti ini tidak berlangsung lama, walaupun tahun 1940 NAZI juga membuat film propaganda berjudul Friedrich Schiller. Jiwa Schiller yang menginginkan kebebasan sama sekali tidak sesuai dengan ideologi NAZI. Demikian dikatakan pakar sejarah Otto Dann. Ia menambahkan, "Pada akhirnya NAZI tidak dapat menggunakan Schiller lagi. Bahkan Hitler kemudian melarang pementasan drama-drama karya Schiller, terutama Don Carlos."

Tetap Dihormati dan Disukai

Maria Stuart
Pementasan drama Schiller, Maria Stuart. Elisabeth Orth sebagai Ratu Inggris Elisabeth (kiri) dan Michael Koenig sebagai Robert Dudley, bangsawan dari Leicester.Foto: AP

Ketika dua negara Jerman, Barat dan Timur, berdiri setelah Perang Dunia II, terjadi perkembangan baru yang bisa disebut sebagai persaingan politis dan budaya menyangkut warisan Schiller. Tidak heran, baik di Jerman Barat maupun Timur ada kota dan lokasi penting yang berkaitan erat dengan pujangga besar itu.

Jerman Timur atau DDR terus memelihara warisan kebudayaan klasik tersebut. Pemerintah DDR juga kerap mengutip perkataan pujangga terkenal Jerman lainnya yang menjadi kawan Schiller, Johann Wolfgang von Goethe, yaitu "Denn er ist unser" yang artinya: karena ia milik kita. Di Jerman Barat atau BRD situasinya berbeda. Di sini banyak sutradara-sutradara muda menampilkan karya-karya klasik Schiller dengan gaya baru yang provokatif, sehingga menjadi kepala berita. Di sekolah-sekolah, karya Schiller jarang dibaca. Akhirnya, dalam rangka reformasi pendidikan, puisi-puisi dan drama karya Friedrich Schiller menghilang sepenuhnya dari daftar karya yang harus dibaca.

Namun demikian, karya-karya Schiller yang dipentaskan di panggung berhasil mengalahkan berbagai tantangan jaman. Sampai sekarang, drama Friedrich Schiller masih dipentaskan dengan gaya baru, yang mendapat sambutan hangat penikmat sastra di berbagai panggung terkenal Eropa.

Cornelia Rabitz / Marjory Linardy

Editor: Yuniman Farid