1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

141010 Welt Ernährung

15 Oktober 2010

Menurut organisasi pangan dan pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa, FAO, angka warga kelaparan di seluruh dunia untuk tahun ini menyusut 70 juta orang. Angka itu menyusut menjadi 925 juta orang.

https://p.dw.com/p/PeQz
Kebun jagung di Zambia
Kebun jagung di ZambiaFoto: DW

Menurut organisasi pangan dan pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa, FAO, angka warga kelaparan di seluruh dunia untuk tahun ini menyusut 70 juta orang. Angka itu menyusut menjadi 925 juta orang. Namun kalangan organisasi bantuan dan kemanusian merisaukan angka kelaparan, yang menurut kalangan itu masih terlampau tinggi, demikian tutur pakar pangan Carolin Calleniuss dari organisasi pangan Jerman "Brot für die Welt". Setelah diteliti, salah satu faktor yang mempengaruhi masalah ini adalah praktek penyewaan lahan bagi perusahaan asing.

"Berdasarkan laporan Bank Dunia, sebanyak 46,6 juta hektar lahan pertanian disewakan pada perusahaan asing. 70 persen dari seluruh perkebunan yang disewakan berada di Afrika. Sudan, Mozambik, Kongo, Kenya atau Sierra Leone juga berniat untuk menawarkan tanahnya demi disewakan," kata Callenius.

Negara kaya, perusahaan raksasa dan kalangan investor pada awalnya tidak tertarik dengan lahan perkebenun seluas tersebut. Tentu investasi semacam itu sudah pernah dilakukan di masa lalu. Namun tidak dalam dimensi sebesar itu. Nampaknya, setelah krisis ekonomi berhasil diatasi, investasi di sektor pertanian menjadi lebih menarik. Perusahaan besar memperhitungkan keuntungan besar jika melakukan investasi di sektor pertanian, ungkap Callenius.

Tambahnya, "Kompetisi memperebutkan lahan pertanian telah dimulai. Bukan lagi kopi, katun dan coklat yang diekspor seperti di masa lampau, yang akan ditanam di lahan-lahan itu. Akan tetapi, bahan pangan seperti beras, jagung dan tanaman yang menghasilkan minyak. Di luar itu, permintaan daging oleh kalangan konsumen juga terus meningkat, sehingga makanan untuk binatang ternak pun bertambah banyak."

Namun yang merasakan dampak negatif dari semua itu adalah orang miskin dan orang-orang yang tergantung pada bantuan pangan, seperti petani kecil, peternak, nelayan dan masyarakat adat. Karena eksistensi hidup mereka, yaitu tanah, direbut.

Terkait masalah ini, organisasi bantuan Jerman "Brot für die Welt" melancarkan kampanye yang menuntut, agar penyewaan tanah kapada para investor diselaraskan dengan kebutuhan masyarkat miskin. Penanaman dan perdagangan harus diiringi dengan perwujudan kriteria sosial dan ekologis.

Mohamed Conteh dari MADAM, sebuah organisasi mitra "Brot für die Welt" di Sierra Leone mengalami langsung bagaimana perusahaan asing berupaya memperoleh tanah pertanian di negerinya.

Saat ini sebuah investor asing sedang bernegosiasi untuk mendapatkan 1,5 juta hektar tanah pertanian. Atau sebuah perusahaan lain dari Swiss, yang bergerak dalam pengembangan biofuel, berencana untuk menyewa lahan seluas 58.000 hektar untuk menanam tebu dan singkong, yang nantinya akan digarap menjadi ethanol, sebuah bahan bakar alternatif. Namun, karena rencana itu mengancam sumber nafkah bagi 17.000 orang, akhirnya digagalkan.

Conteh mengritik penggunaan tanah subur demi produksi biofuel. Katanya, "Di sini nampak jelas bahwa masalahnya terletak pada hukum di negeri kita. Dengan mudah para investor menyalahgunakan celah-celah sistem perhukuman di negara kami."

Pakar pertanian Roman Herre dari organisasi kemanusiaan FIAN mengenal betul penyalahgunaan itu di sektor pertanian di sejumlah negara Afrika.

"Para investor selalu menggunakan kata bantuan pembangunan. Namun penerapannya menunjukkan hal sebaliknya. Kenyataannnya, tidak diciptakan lapangan kerja bagi masyarakat asli. Eksistensi hidup mereka dirusak, infrastruktur yang dijanjikan bagi masyarakat setempat tidak dibangun, tetapi infrastruktur untuk memproduksi barang ekspor direalisasikan," pungkas Herre.

Sabine Ripperger/Andriani Nangoy

Editor: Ayu Purwaningsih