1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikBelanda

Belanda Mohon Maaf Atas Perbudakan Brutal pada Era Kolonial

Hendra Pasuhuk
20 Desember 2022

Untuk pertama kalinya, pemerintah Belanda secara resmi menyampaikan permintaan maaf atas perdagangan budak di abad ke-17. Tetapi keturunan keluarga korban belum diajak bicara dan didengar. Opini editor DW Hendra Pasuhuk.

https://p.dw.com/p/4LCHV
PM Belanda Mark Rutte menyampaikan permohonan maaf atas 250 tahun perbudakan di era kolonial.
PM Belanda Mark Rutte menyampaikan permohonan maaf atas 250 tahun perbudakan di era kolonial dalam pidato di Arsip Nasional Belanda di Den Haag.Foto: Robin Utrecht/picture alliance

Belanda pernah menjadi kekuatan kolonial terbesar ketiga di dunia, memperbudak lebih dari 600.000 orang selama lebih 250 tahun. Mereka kebanyakan diculik dari Afrika Barat, dan juga dari Indonesia, lalu dijual dan dipaksa bekerja di perkebunan di Suriname dan Antilles. Dari tahun 1640 hingga 1670, Belanda adalah pedagang budak terbesar di dunia.

Editor DW Hendra Pasuhuk
Editor DW Hendra PasuhukFoto: privat

Kerajaan Belanda adalah salah satu negara terakhir di Eropa yang secara resmi menghapus perbudakan pada 1 Juli 1863, namun baru benar-benar diakhiri pada tahun 1873. Hingga hari ini, periode ini diperingati sebagai "Era Keemasan".

Pada pernikahan pasangan kerajaan saat ini, Willem-Alexander dan Maxima pada tahun 2002, pasangan itu mengendarai "Kereta Kencana" kerajaan Belanda. Kereta mewah berlapis emas ini telah digunakan untuk pernikahan kerajaan sejak 1901. Ilustrasi di dinding samping dari tahun 1898 berjudul "Penghormatan dari Daerah Jajahan" di kereta itu belakangan menjadi kontroversial. Gambar itu menunjukkan orang-orang dari daerah jajahan Belanda berlutut mempersembahkan hadiah terbaik mereka kepada seorang wanita kulit putih.

Dalam beberapa tahun terakhir, Belanda mulai membicarakan fakta bahwa museum-museum dan kota-kota bersejarah mereka yang dipenuhi lukisan Rembrandt dan Vermeer dibangun sebagian besar dari hasil kebrutalan perbudakan dan kolonialisme. Didorong oleh gerakan Black Lives Matter di Amerika Serikat, Belanda juga mulai membahas masalah rasisme di masyarakat. Tekanan dalam negeri bagi pemerintah untuk menyampaikan permohonan maaf meningkat, ketika kota Amsterdam, Rotterdam, Den Haag, dan Utrecht secara resmi meminta maaf atas perdagangan budak.

Kereta Kencana Kerajaan Belanda
Kereta Kencana Kerajaan BelandaFoto: Patrick van Katwijk/dpa/picture alliance

Sudah didiskusikan selama bertahun-tahun

Pemerintah Belanda Februari lalu sudah meminta maaf kepada Indonesia, tetapi bukan tentang perbudakan, melainkan tentang tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pasukan mereka dalam Perang Kemerdekaan Indonesia (1945-1949). Minggu yang lalu, Den Haag mengklarifikasi bahwa hari ini tindakan tersebut akan dianggap sebagai kejahatan perang.

Diskusi tentang permintaan maaf Belanda untuk perbudakan telah beredar selama bertahun-tahun, tetapi baru tahun lalu langkah konkret diambil. Pada tahun 2001 dan 2013, pemerintah Belanda sudah menyatakan "penyesalan", tetapi barulah pada Juli 2022, sebuah komisi ahli yang ditunjuk pemerintah merekomendasikan dalam laporan setebal 272 halaman agar negara Belanda mengakui perbudakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, dan secara resmi meminta maaf.

Sebelum pidato Perdana Menteri Mark Rutte hari Senin (19/12) di Arsip Nasional di Den Haag, sekaligus permintaan maaf resmi dari para pejabat Belanda yang berkunjung ke bekas koloni Suriname dan bekas wilayah jajahan lain, telah muncul perdebatan sengit. Para kritikus mengatakan, tanggal pengumuman Mark Rutte pada Senin, 19 Desember, dipilih secara asal saja. Kelompok advokasi di Belanda mengatakan, tanggal yang tepat adalah 1 Juli 2023, tepat 150 tahun sejak perbudakan secara resmi dihapuskan. Selain itu mereka juga menuntut agar Kerajaan Belanda, diwakili oleh Raja Willem Alexander, juga meminta maaf.

Penerimaan permohonan maaf tidak bisa dipaksakan

Permohonan maaf yang tulus seharusnya melibatkan negara-negara bekas jajahan atau keturunan para korban. Dan sebelum meminta maaf, ada baiknya memikirkan baik-baik apa yang telah terjadi, dan kerusakan apa yang disebabkan oleh "kesalahan" itu. Meminta maaf juga berarti bersikap rendah hati, dan mengakui bahwa yang terjadi di masa lalu itu adalah sebuah "kesalahan". Di atas segalanya, permohonan maaf juga berarti menunjukkan bahwa kita bersedia melakukan sesuatu untuk memperbaiki kerusakan yang telah ditimbulkan.

Pihak korban dan keturunannya juga harus ditawarkan kompensasi secara konkret. Hanya jika kesalahan yang telah dilakukan dibahas secara terbuka, dan ada kesediaan yang tulus untuk memberikan kompensasi, barulah terbuka peluang bahwa permohonan maaf itu bisa diterima oleh keturunan keluarga korban.

Penerimaan permohonan maaf tidak bisa dipaksakan. Namun, penerimaan itu merupakan prasyarat penting untuk hubungan saling percaya satu sama lain di masa depan.

(hp/gtp)