1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Penuh Petualangan, Pendakian Gunung Brocken di Jerman

Davin Primajodi
19 Februari 2021

Jam 7 pagi tepat kami berkumpul bertigabelas dan mengejar kereta arah Magdeburg. Dengan jeda sekitar 15 menit, kami transit kereta menuju Wernigerode. Oleh Davin Primajodi.

https://p.dw.com/p/3pZD5
Foto bersama di batu peringatan Heinrich Heine, puncak gunung Brocken
Foto bersama di batu peringatan Heinrich Heine, puncak gunung BrockenFoto: Privat

Suatu hari di Baasdorferstraße 10 di kota kecil Köthen, tempat kami biasa berkumpul dan memanggang segala daging olahan ala barbeque, tanpa perlu memperingati perayaan apapun. Sebagian dari kami sibuk mengipas-kipas daging panggangan, sebagian bernyanyi sambil memetik gitar, sisanya mengobrol membahas topik-topik yang tidak perlu. Inilah kegiatan wajib mingguanku, pasca Studienkolleg menunggu pendaftaran kuliah Wintersemester. Tuk membunuh kebosanan dan kesepian dalam kepala.

Davin Primajodi | Indonesischer Student
Davin PrimajodiFoto: Privat

“Iya, tau! Menurut gua langit di Köthen tuh indah banget, bintang terang dan banyak, karena mobil di sini jarang! Jadi polusinya juga dikit. Beda sama di kota besar macam Berlin, langitnya butek aja gak jernih“ Saut temanku membandingkan.

“Tapi kalian harus coba liat bintang dari gunung, cuy! Di gunung Brocken, penuh isinya bintang semua!” balas Masiga sambil mengunyah daging steak yang sedikit gosong.

“Ehem... Gak tau deh, Mas. Gua di Indonesia aja belom pernah naik sampe puncak, ini lagi di negara orang” ujarku menggarisbawahi ketidakmungkinanku untuk mencoba.

“Eh, gunung Brocken ini mah santai, Vin! Satu hari, jadi! Orang deket banget kok! Ayo, sama gua pasti aman, Vin!“ upaya Masiga meyakinkan, sambil menepuk kedua pundakku dan menatap dari mata ke mata.

“Eh?“ balasku mati kata, sebenarnya apapun yang dia katakan, aku tak akan pernah mau ikut. Meski gaduh obrolan teman-teman yang lain antusias. Kami lanjut berpesta sampai tak tau kapan.

*Kriiiing* kumatikan jam weker sambil menjaga posisi tidur tengkurepku. Ku intip catatan agenda di ponselku “Jam 7 di Bahnhof”. Sial! Aku lupa bagaimana cara, tapi segerombolan kami setuju untuk benar-benar berpetualang ke gunung Brocken. Karena waktu yang mepet, aku tak pikir panjang kenakan kaos lengan buntung disambung jaket kulit hitam, celana chino biru, sepatu olahraga, dan tas sekolah biasa lengkap berisi dompet, seperangkat alat merokok, juga kunci rumah.

Pemandangan puncak gunung Brocken di musim dingin
Pemandangan puncak gunung Brocken di musim dinginFoto: RONNY HARTMANN/AFP/Getty Images

Jam tujuh pagi tepat kami terkumpul bertigabelas dan mengejar kereta arah Magdeburg. Dengan jeda waktu sebatang rokok atau sekitar limabelas menit, kami transit kereta menuju Wernigerode. Lengkap tigabelas orang, duabelas lelaki dan satu perempuan. Berpakaian sangat tidak layak, seperti kaos basket buntung, celana jins Panjang maupun pendek, atau sweater seadanya, disambung sepatu lari sampai sepatu sneackers. Kuyakin perusahaan asuransi menyesal menjamin kesehatan kami, kalau pada akhirnya melihat kami mati konyol di gunung.

Setibanya di Bahnhof Wernigerode sekitar pukul setengah sembilan, kami berduabelas memasrahkan diri pada Masiga, satu-satunya yang pernah mengalami perjalanan ini. Dia ke toko, kami ikut. Dia ke toilet, kami ikut. Dia ke halte bus, kami mulai curiga. Raut wajahnya bukan tipikal yang kita semua harapkan dari seorang tour guide: bingung.

“....Biasanya gua naik bus dari sini, ke kota kecil, namanya Schierke, baru mulai nanjak ke puncak“ pembelaan Masiga, bahkan sebelum kami belum bertanya apapun. “Ah, tapi gapapa, kita juga bisa jalan kok!“ lanjutnya menenangkan sedikit kegilaan dalam kepala kami panik.

Setelah membeli nasi bungkus di toko kecil dekat Bahnhof, kami sepakat untuk coba menelusuri jalan mengikuti jalur kereta uap, habis melihat iklannya yang beroperasi langsung menuju puncak. Naik turun jalur dari jalan aspal luas sampai tanah sempit, kami jalan berbaris dan selalu bernyanyi layaknya tim pramuka berpetualang. Sebagian jalan menanjak, suara kami mengecil dan sebagian jalan menurun, nyanyian kami berteriak.

Sekitar jam satu siang, kami berhenti sejenak di rerumputan dan menyantap nasi bungkus masing-masing. Setelahnya kami mulai meninggalkan jalan aspal dan permukiman, berganti pepohonan dan kesunyian. Kulihat masih ada satu-dua orang Jerman yang juga mendaki, kupikir, pasti baik-baik saja. Sampai di satu titik, kami tak melihat satupun pendaki lain. Inisiatif kami yang mulai putus asa, mulai merasa pintar memilah-milah jalan dan menerobos ilalang setinggi badan.

Jam empat sore, kami masih tidak melihat ujung hidung puncak gunung. Namun, dari kejauhan kami melihat satu rumah di kelilingi pohon dan ada seseorang yang duduk bersandar pada bangku di tamannya. Kami hampiri seorang bapak tua itu asal-asal bertanya arah jalan. “FHJKASJB JNAKJDN KJNAKJS” ujar bapak itu dengan logat kental, tak bisa kupahami satu katapun. Kali ini, keberadaan Masiga sangat bermakna. Masiga satu-satunya yang sanggup menanggapi omongan bapak itu. “AJBJHF Sturm AJNSJAKN regnen“ hanya dua kata itu yang aku pahami: badai dan hujan, karena beliau berkali-kali mengucapkan itu, sedangkan Masiga tidak kalah keras kepala tuk bilang bahwa dia tidak menanyakan cuaca, tapi arah jalan saja, titik.

Perdebatan selesai dengan Masiga tetap mau lanjutkan perjalanan, meski bapak tua itu ternyata menyuruh kita untuk pulang. Langit terlihat masih cerah, jadi bukannya Masiga keras kepala, tapi kamipun memang masih optimis untuk mampu menyelesaikan pendakian ini dalam sehari. Tiap setengah jam kami berhenti beristirahat sambil merokok dan berbincang, lalu lanjut lagi sembari masih mencoba mencari sinyal, demi menggunakan google maps.

Jam kerja matahari sudah mendekati penghujung waktu dan siap berganti bulan, kami masih di antah-berantah mendaki hampir 45 derajat tanpa tapak jalan sama sekali. Hanya papan sangat kecil bertuliskan “25D“ yang kami temukan, sesaat langit mulai menangis rintik-rintik. Penerangan alam makin berkurang dan perut kami meraung-raung.

Kami berteduh di pohon-pohon pinus besar, meski tetap dibasahi hujan, duduk melingkar berdekatan mencoba hasilkan kehangatan sebisa mungkin sambil mengunyah jajanan apapun yang kami sempat beli. Meski remuk tak lagi berbentuk, tak pernah kurasakan jajanan apapun senikmat ini. Persediaan airpun sudah menipis. 25D, apapun artimu, tak kan pernah engkau kulupakan.

Mahasiswa Indonesia di gunung Brocken
Mahasiswa Indonesia di gunung BrockenFoto: Privat

Kami lanjutkan pendakian ke atas sampai bertemu setapak jalan lurus, setelah hujan berhenti. Selama perjalanan, aku dan satu temanku memungut sebatang kayu melengkung dan kami perlakukannya bak sebuah pedang. Bertarung seperti di kartun. Pukulan yang mengejutkan bukanlah dari ayunan pedang temanku, melainkan: kami temukan terpapar panjang garis polisi memblokir jalan. Yang menyeramkan adalah, kami tak tau daerah yang dilarang maksudnya untuk ke depan sana, atau justru yang sedang kami lalui barusan?

Perdebatan buah ketakutan kami berujung hompimpa memilih dua orang yang harus coba menerjang garis polisi dan mengecek ada apa di bagian sana. Aku dan Alfin yang memenangkan jackpot kali ini. Kami telusuri lanjut dengan sangat waswas. Yang kami temukan adalah beberapa kendaraan raksasa pengangkut pohon, juga pepohonan yang sudah ditebang.

“Halloo? Hilfee! Halloo?“ aku terus berteriak, selagi Alfin kembali mengabari rombongan yang masih menunggu di depan garis polisi tadi. Aku sendirian menunggu mereka, dengan sekujur tubuh gemetar entah dingin atau takut. Siapa yang tau kalau datang seseorang membawa senapan? Syukurnya tidak ada prasangka burukku yang terjadi.

Perjalanan terasa makin berat karena ketergantungan kami pada pancaran cahaya minim dari ponsel. Dari kejauhan, kami melihat anugrah yang tidak pernah bisa lebih kami harapkan: cahaya pemukiman! Kami bersegera ke sana dan mencari penginapan. Inilah kota kecil yang kami cari: Schierke!

Pemandangan sekitar gunung Brocken di negara bagian Sachsen Anhalt
Pemandangan sekitar gunung Brocken di negara bagian Sachsen AnhaltFoto: Martin Wagner/Imago Images

Tanpa pikir panjang, kami buka pintu penginapan pertama yang ditemukan. Setelah Masiga bernegoisasi dengan penjaga hostel-nya, kami tak memiliki harga tawar: kami perlu tidur. Kuikhlaskan €27 uangku demi bisa tidur di ruangan bertiga. Biaya itu sudah termasuk sarapan besok. Setelah mandi aku coba kembali ke ruang lobby dan menguji keberuntungan dengan internet yang disediakan hostel. Kulihat Masiga sedang melalui drama, menelepon pacarnya yang kesal, karena tidak bisa ikut. Sedangkan kunikmati saja lambatnya internet yang tersedia, dengan jeda dua sampai tiga menit hanya untuk mengirim pesan, memberi kabar pacarku yang jauh di luar jangkauan.

Sarapan yang disediakan pastinya bukan nasi goreng ataupun bubur bak di Indonesia, hanya hidangan khas Jerman. Kami monopoli habiskan telur rebus, bahkan setelah ketiga kali diisi ulang. Perjalanan belum berakhir, kami lanjutkan perjuangan sekitar pukul sepuluh pagi memimpikan puncak gunung Brocken. Lagi-lagi bebatuan besar, bukannya tanah rata yang ramah tuk kaki yang rapuh kami temukan. Bedanya, teriak nyanyian lagu-lagu kami kembali bergema setelah perut terisi belasan telur rebus dan susu murni.

Sekitar jam dua siang, kami akhirnya tiba di puncak gunung Brocken! Jelas tidak ada ratusan bintang di langit pada siang hari, justru angin yang sungguh gila menyambut kedatangan kami. Meski bulan Agustus, saat itu rasanya lebih mirip bulan Januari atau Februari. Kami berteduh pada suatu atap kantor, menghindari angin. *cekrek* berbondong-bondong kami mengambil foto bersama monumen batu berlukiskan wajah seorang pria yang kami tak kenal.

“Danke schön und gute Fahrt!“ ucap kasir penjual karcis kereta uap, setelah kubayar seharga €25 untuk satu kali jalan menuju Bahnhof Wernigerode. Kami berbondong-bondong memasuki gerbong dan mencari bangku tuk duduk bersama. Uniknya kereta ini, antar gerbong satu ke lainnya tidak tersambung seperti kereta S-Bahn modern di Berlin, melainkan sangat tradisional, di mana kami harus ditampar kencang angin tuk berpindah gerbong. Kami berdiri di antara dua gerbong, menikmati pemandangan terbuka dibanding duduk manis melihat lewat jendela. Kereta uap inipun tidak melaju secepat kereta biasanya, sekitar satu setengah sampai dua jam barulah kami tiba di destinasi akhir.

Selama perjalanan, kami sempat berfoto-foto, tidak peduli apa kata penumpang kereta lainnya. Juga bermain ABC Lima Dasar, menghibur diri setelah keberhasilan pendakian gunung yang penuh kejutan. Sesampainya di Bahnhof Wernigerode, kami berlari mengejar kereta yang sudah parkir dan tak lama setelahnya melaju menuju Magdeburg. Lagi-lagi transit dan akhirnya kami menuju destinasi terakhir kami, Köthen tercinta.

Sore hari menjelang malam, aku mendarat kembali di kasur kesayanganku. Tak sempat mandi atau cuci muka dan lainnya, kututup mata dan sudahi hari. Meski pengeluaranku lebih besar dari perkiraan, kupikir pengalaman ini jauh lebih mahal dari harga yang telah kubayar. Aku merasa satu langkah lebih dekat dengan Jerman, dengan alam Jerman.

*Davin Primajodi tinggal di Jerman sejak tahun 2015 sampai sekarang. Sedang menempuh sarjana di kampus Bremen University of Applied Sciences (Hochschule Bremen) jurusan Global Management. Kerap dikenal sebagai si tukang roti, karena pengalaman kerja sambilannya di toko roti selama dua tahun.

**DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: dwnesiablog@dw.com. Sertakan 1 foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri. (hp)